Bohong alias
tidak jujur adalah adalah perbuatan orang munafik, orang bermuka dua. Jika
orang munafik berbuat “kebaikan” itu hanya sekedar kendaraan untuk memuluskan
perbuatan busuk di kemudian hari, atau bisa juga sebagai alat untuk menutupi
kebobrokan perbuatan mereka.
Karena itu, bohong
merupakan bahaya besar bagi kehidupan, bahayanya lebih dahsyat dari pada penyakit
fisik atau ancaman teroris. Dalam pandangan
Islam, semua keburukan bersumber dari hilangnya kejujuran dan suburnya kebohongan
dalam kehidupan.
Saat ini, kebohongan berkeliaran dan dengan mudah ditemukan
di berbagai tempat. Di rumah, dengan mudah menemukan ketidak jujuran orang tua mengajari
anaknya berbohong. Di pasar, dengan mudah menemukan penjual dan pembeli yang
curang. Di kantor, dengan mudah menyaksikan korupsi yang dilakukan oleh
sebagian para pejabat, kolaborasi pengusaha dan penguasa, serta mafia hukum dan
peradilan.
Saat ini, penghianat dan pendusta silih berganti; orasi
hanya obral janji; menyelesaikan masalah dengan masalah agar dilupakan dirinya
bersalah; teriak demokratis buktinya anarkis; ambisi golongan dijadikan tujuan;
kekuasaan dan jabatan sudah menjadi alat keserakahan; dan kepentingan pribadi sudah
menjadi kebutuhan abadi.
Yang lebih mengerikan lagi, kebohongan ditemukan di dunia
pendidikan. Menurut Almawardi dalam kitabnya adabud dunya waddin, pelaku kebohongan yang dilakukan oleh orang
yang berilmu, disindirnya sebagai oleh yang “lupa” yang harus diingatkan.
Kasus kebohongan orang yang berilmu yang “lupa” adalah pemutarbalikan
makna kebenaran. Dalam pikiran orang yang “lupa” ini, tidak ada lagi istilah
kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran relatif. Padahal, Allah SWT dengan
tegas, berfirman: “Kebenaran
itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang
yang ragu”
(al-Anfal: 27).
Orang yang “lupa”
sering beranggapan, ketika ada seseorang memahami ayat al-Qur’an, maka pemahaman
dia terhadap wahyu itu dikatakan sebagai kebenaran relatif bukan kebenaran
mutlak, karena pendapat itu dianggap sebagai tafsir atas pemahaman ayat. Karena
tafsir termasuk pendapat seseorang, dan setiap orang itu dipastikan memiliki
kelemahan, maka kebenaran pendapatnya adalah relatif bukan kebenaran mutlak. Ini
adalah pendapat orang yang “lupa”, bohong, dan tidak menunjukan orang yang
jujur.
Sebenarnya, pendapat seseorang
terhadap ayat al-Qur’an selama dia menggunakan prosedur berpikir yang benar,
maka kebenarannya bersifat sementara. Artinya, ada kebenaran sebagian,
mengingat kemampuan manusia terbatas. Pekerjaan menuju kebenaran mutlak adalah
perjalanan panjang tanpa akhir. Kebenaran sementara tidak sama dengan kebenaran
relatif. Kebenaran relatif itu bersifat lokal, seperti makna kata “dahar” dalam
bahasa Jawa yang termasuk bahasa yang halus, sementara dalam bahasa Sunda makna
“dahar” termasuk bahasa yang kasar. Ini adalah kebenaran relatif.
Tujuan dari mengetahui kebenaran
relatif dan kebenaran sementara ini adalah untuk menghindari sikap
ketergesa-gesaan dan pemahaman liar yang bisa menghambat perkembangan kemajuan peradaban
Islam. Karena tidak sedikit umat Islam yang alergi ketika mendengar kata Islam
dan syariat Islam.
Ketika Tahun 1992 di Indonesia berdiri
bank syariah, tidak sedikit ada orang yang mengatakan “bank syariah” yang “tidak
syar’iyah” atau “bank Islam” yang “tidak Islami”. Ini adalah sikap ketergesa-gesaan dari sebagian orang, yang
jelas sikap ini kurang menguntungkan bagi kemajuan Islam. Karena, latar belakang
pendirian bank syariah di Indonesia merupakan hasil dari perjalanan panjang yang
melelahkan, yang dimulai dari wacana intelektual yang digagas oleh MUI dan
ICMI, kemudian didukung oleh Presiden Soeharto dan sekarang telah mewarnai
dunia perbankan Indonesia yang patut kita syukuri dan kita banggakan keberadaannya.
Lebih dari itu, dengan adanya istilah kebenaran relatif maka
pendapat ulama tentang qath’i (absolut) dan zhanni (sementara) sudah
digugat. Padahal tujuan ditetapkan ada ayat yang qoth’i adalah untuk
menjamin kepastian hukum, sehingga hukum tidak lembek, dan tetap berwibawa.
Adapun tujuan dari pengklasifikasian
ayat yang zhanni, adalah memberikan kesempatan kepada ulama untuk
berpendapat menyikapi perkembangan zaman yang cepat berubah.
Jika ajaran kebenaran relatif yang menggugat ajaran qath’i
ini diterima, puncaknya akan menggiring umat kepada paham membenarkan semua
paham dan keyakinan. Padahal, paham dan keyakinan di dunia itu jumlahnya
ribuan. Salah satunya, adalah ada paham dan keyakinan yang membenarkan penyembahan
setan. Sementara itu, setan adalah makhluk terkutuk yang jauh dari kebenaran
dan kebaikan.
Dalam menyikapi keberagaman paham dan keyakinan, al-Qur’an
dengan tegas menjelaskan: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena
itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (al-Baqarah: 256).
Karena itu, untuk mewujudkan kerukunan dalam paham dan keyakinan adalah toleransi
yang tinggi, tidak mau mengganggu orang lain yang berbeda paham dan keyakinan
dan memberikan “kebebasan” kepada mereka untuk berpikir, bersikap dan bertindak
sesuai dengan paham dan keyakinan mereka.
Ada yang lebih parah dan mengerikan lagi adalah kebohongan di
dunia dakwah. Kasus ini bisa dijumpai pada diri seseorang yang memiliki
semangat tinggi untuk menegakan syariah, tetapi kadang-kadang tujuan (ghayah)
menegakan syariah ditempuh dengan cara (wasilah) yang bertentangan
dengan syariah itu sendiri, seperti syrik dikatakan sebagai mu’amalah,
atau merampok harta orang dikatakan fai.
Akhirnya, marilah kita tinggalkan kebohongan dan mulailah
untuk jujur, karena Allah SWT memerintahkan kita untuk jujur: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepada kalian sedang kalian mengetahui”(al-Anfal: 27).
Insya Allah, setelah jujur dalam berpikir, bersikap dan
berkeyakinan, puncaknya akan menerima ajaran Islam secara utuh dalam
berkeyakinan dan beramal, dan dalam beribadah dan bermu’amalah
sekaligus. Karena belakangan ini, masih banyak orang yang beragama Islam dalam
beribadah saja. Praktik shalat, puasa, haji, umrah, dam dzikir semuanya benar.
Tetapi, dalam aktivitas ekonomi, pendidikan, politik dan sebagainya masih jauh
dari ajaran Islam, karena telah mengimpor paham dan keyakinan lain.
Mereka itu, telah menjadikan dirinya sebagai pusat
kepentingan, Allah SWT dan ajaranNya dijadikan pendukung untuk melancarkan
aktivitasnya. Ketika sedang dihadapkan kepada persoalan hidup, dengan khusyu
beribadah kepada Allah, shalat tahajud, shalat dhuha, dan dzikir. Padahal,
Allah SWT dengan tegas berfirman: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Alkitab
dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (al-Baqarah: 85).
Maka, benarlah Nabi Muhammad SAW yang telah mewanti-wanti
agar umatnya bersifat jujur. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari
dan Muslim, dijelaskan: “Hendaklah kalian jujur, karena sesungguhnya
kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan
menyampaikan kalian ke surga. Jika seseorang jujur dan menguasai sifat jujur,
maka Allah menetapkannya sebagai seorang yang jujur. Dan sekali-kali jangan
kalian berbohong, karena sesungguhnya kebohongan itu menggiring kalian kepada berbagai
macam kejahatan dan sesungguhnya berbagai macam kejahatan itu akan menggiring
kalian ke neraka. Jika seseorang berbohong dan terus berbohong, maka Allah akan
menetapkannya seorang pembohong”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika kebohongan sudah dibenarkan oleh orang yang berilmu
dalam berdakwah, bagaimana nasib umat yang awam akan pemahaman ayat Qur’an dan
Sunnah Nabi? Wallahu’alam bishawab.
salam Lima Jari, tulisan dari orang kampung!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar