-->

Kamis, 18 April 2013

Ayo Kita Jujur!!


Bohong alias tidak jujur adalah adalah perbuatan orang munafik, orang bermuka dua. Jika orang munafik berbuat “kebaikan” itu hanya sekedar kendaraan untuk memuluskan perbuatan busuk di kemudian hari, atau bisa juga sebagai alat untuk menutupi kebobrokan perbuatan mereka.


Karena itu, bohong merupakan bahaya besar bagi kehidupan, bahayanya lebih dahsyat dari pada penyakit fisik atau ancaman teroris. Dalam pandangan Islam, semua keburukan bersumber dari hilangnya kejujuran dan suburnya kebohongan dalam kehidupan.

Saat ini, kebohongan berkeliaran dan dengan mudah ditemukan di berbagai tempat. Di rumah, dengan mudah menemukan ketidak jujuran orang tua mengajari anaknya berbohong. Di pasar, dengan mudah menemukan penjual dan pembeli yang curang. Di kantor, dengan mudah menyaksikan korupsi yang dilakukan oleh sebagian para pejabat, kolaborasi pengusaha dan penguasa, serta mafia hukum dan peradilan.

Saat ini, penghianat dan pendusta silih berganti; orasi hanya obral janji; menyelesaikan masalah dengan masalah agar dilupakan dirinya bersalah; teriak demokratis buktinya anarkis; ambisi golongan dijadikan tujuan; kekuasaan dan jabatan sudah menjadi alat keserakahan; dan kepentingan pribadi sudah menjadi kebutuhan abadi.

Yang lebih mengerikan lagi, kebohongan ditemukan di dunia pendidikan. Menurut Almawardi dalam kitabnya adabud dunya waddin,  pelaku kebohongan yang dilakukan oleh orang yang berilmu, disindirnya sebagai oleh yang “lupa” yang harus diingatkan.

Kasus kebohongan orang yang berilmu yang “lupa” adalah pemutarbalikan makna kebenaran. Dalam pikiran orang yang “lupa” ini, tidak ada lagi istilah kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran relatif. Padahal, Allah SWT dengan tegas, berfirman: “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (al-Anfal: 27).

Orang yang “lupa” sering beranggapan, ketika ada seseorang memahami ayat al-Qur’an, maka pemahaman dia terhadap wahyu itu dikatakan sebagai kebenaran relatif bukan kebenaran mutlak, karena pendapat itu dianggap sebagai tafsir atas pemahaman ayat. Karena tafsir termasuk pendapat seseorang, dan setiap orang itu dipastikan memiliki kelemahan, maka kebenaran pendapatnya adalah relatif bukan kebenaran mutlak. Ini adalah pendapat orang yang “lupa”, bohong, dan tidak menunjukan orang yang jujur.

Sebenarnya, pendapat seseorang terhadap ayat al-Qur’an selama dia menggunakan prosedur berpikir yang benar, maka kebenarannya bersifat sementara. Artinya, ada kebenaran sebagian, mengingat kemampuan manusia terbatas. Pekerjaan menuju kebenaran mutlak adalah perjalanan panjang tanpa akhir. Kebenaran sementara tidak sama dengan kebenaran relatif. Kebenaran relatif itu bersifat lokal, seperti makna kata “dahar” dalam bahasa Jawa yang termasuk bahasa yang halus, sementara dalam bahasa Sunda makna “dahar” termasuk bahasa yang kasar. Ini adalah kebenaran relatif.

Tujuan dari mengetahui kebenaran relatif dan kebenaran sementara ini adalah untuk menghindari sikap ketergesa-gesaan dan pemahaman liar yang bisa menghambat perkembangan kemajuan peradaban Islam. Karena tidak sedikit umat Islam yang alergi ketika mendengar kata Islam dan syariat Islam.

Ketika Tahun 1992 di Indonesia berdiri bank syariah, tidak sedikit ada orang yang mengatakan “bank syariah” yang “tidak syar’iyah” atau “bank Islam” yang “tidak Islami”. Ini adalah sikap ketergesa-gesaan dari sebagian orang, yang jelas sikap ini kurang menguntungkan bagi kemajuan Islam. Karena, latar belakang pendirian bank syariah di Indonesia merupakan hasil dari perjalanan panjang yang melelahkan, yang dimulai dari wacana intelektual yang digagas oleh MUI dan ICMI, kemudian didukung oleh Presiden Soeharto dan sekarang telah mewarnai dunia perbankan Indonesia yang patut kita syukuri dan kita banggakan keberadaannya.

Lebih dari itu, dengan adanya istilah kebenaran relatif maka pendapat ulama tentang qath’i (absolut) dan zhanni (sementara) sudah digugat. Padahal tujuan ditetapkan ada ayat yang qoth’i adalah untuk menjamin kepastian hukum, sehingga hukum tidak lembek, dan tetap berwibawa. Adapun  tujuan dari pengklasifikasian ayat yang zhanni, adalah memberikan kesempatan kepada ulama untuk berpendapat menyikapi perkembangan zaman yang cepat berubah.

Jika ajaran kebenaran relatif yang menggugat ajaran qath’i ini diterima, puncaknya akan menggiring umat kepada paham membenarkan semua paham dan keyakinan. Padahal, paham dan keyakinan di dunia itu jumlahnya ribuan. Salah satunya, adalah ada paham dan keyakinan yang membenarkan penyembahan setan. Sementara itu, setan adalah makhluk terkutuk yang jauh dari kebenaran dan kebaikan.

Dalam menyikapi keberagaman paham dan keyakinan, al-Qur’an dengan tegas menjelaskan: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (al-Baqarah: 256).

Karena itu, untuk mewujudkan kerukunan dalam paham dan keyakinan adalah toleransi yang tinggi, tidak mau mengganggu orang lain yang berbeda paham dan keyakinan dan memberikan “kebebasan” kepada mereka untuk berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan paham dan keyakinan mereka.

Ada yang lebih parah dan mengerikan lagi adalah kebohongan di dunia dakwah. Kasus ini bisa dijumpai pada diri seseorang yang memiliki semangat tinggi untuk menegakan syariah, tetapi kadang-kadang tujuan (ghayah) menegakan syariah ditempuh dengan cara (wasilah) yang bertentangan dengan syariah itu sendiri, seperti syrik dikatakan sebagai mu’amalah, atau merampok harta orang dikatakan fai.

Akhirnya, marilah kita tinggalkan kebohongan dan mulailah untuk jujur, karena Allah SWT memerintahkan kita untuk jujur: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kalian sedang kalian mengetahui”(al-Anfal: 27).

Insya Allah, setelah jujur dalam berpikir, bersikap dan berkeyakinan, puncaknya akan menerima ajaran Islam secara utuh dalam berkeyakinan dan beramal, dan dalam beribadah dan bermu’amalah sekaligus. Karena belakangan ini, masih banyak orang yang beragama Islam dalam beribadah saja. Praktik shalat, puasa, haji, umrah, dam dzikir semuanya benar. Tetapi, dalam aktivitas ekonomi, pendidikan, politik dan sebagainya masih jauh dari ajaran Islam, karena telah mengimpor paham dan keyakinan lain.

Mereka itu, telah menjadikan dirinya sebagai pusat kepentingan, Allah SWT dan ajaranNya dijadikan pendukung untuk melancarkan aktivitasnya. Ketika sedang dihadapkan kepada persoalan hidup, dengan khusyu beribadah kepada Allah, shalat tahajud, shalat dhuha, dan dzikir. Padahal, Allah SWT dengan tegas berfirman: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Alkitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain?” (al-Baqarah: 85).

Maka, benarlah Nabi Muhammad SAW yang telah mewanti-wanti agar umatnya bersifat jujur. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, dijelaskan: “Hendaklah kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan menyampaikan kalian ke surga. Jika seseorang jujur dan menguasai sifat jujur, maka Allah menetapkannya sebagai seorang yang jujur. Dan sekali-kali jangan kalian berbohong, karena sesungguhnya kebohongan itu menggiring kalian kepada berbagai macam kejahatan dan sesungguhnya berbagai macam kejahatan itu akan menggiring kalian ke neraka. Jika seseorang berbohong dan terus berbohong, maka Allah akan menetapkannya seorang pembohong”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Jika kebohongan sudah dibenarkan oleh orang yang berilmu dalam berdakwah, bagaimana nasib umat yang awam akan pemahaman ayat Qur’an dan Sunnah Nabi? Wallahu’alam bishawab.

salam Lima Jari, tulisan dari orang kampung!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar