Kisruh PSSI yang tak kunjung terselesaikan makin lama makin
menjengkelkan, para elit dan kepentingan saling memangsa mengorbankan prestasi
sepakbola. Mula-mula ini soal dua kubu yang kemudian tak mau berhenti
berseteru, mereka memperebutkan kuasa seolah sepakbola hanya urusan ego semata.
Konflik ini jalinan sebab-akibat, kepentingan dilandasi dendam kesumat.
Sepakbola memang industry seksi jabatannya bergengsi urusannya mudah
dipolitisasi. Kini semua tersandera bola mati, menolak
rekonsiliasi. Hanya akan
membuat olah raga ini mati suri, seantero negeri rindu prestasi, ingin teriak
setengah hati. Saat merah putih raih medali. Wahai kalian yang sibuk tarik
urat, cukup sudah semua maneuver dan muslihat. Kami muak dengan pentas
arogansi, pameran basi, orang yang tak rela kehilangan posisi. (Catatan Najwa –
Mata Najwa Episode Bola Mati PSSI 14 April 2012)
Dunia sepakbola Indonesia adalah dunianya semua generasi karena
dari anak umur 5 tahun sampai kakek tua semuanya suka dengan olahraga sepakbola
meskipun hanya menjadi penonton setia selamanya. Tidak diragukan lagi dengan
dicatatankannya Indonesia sebagai Negara ketiga dengan supporter Sepakbola
terloyal, terfanatik dan terbesar di dunia menjadi daya tarik tersendiri bagi
dunia persepakbolaan di Negeri ini namun sangat disayangkan sekali dengan ‘prestasi’
supporter terbesar ketiga sedunianya Indonesia tidak mampu bersaing di bidang
praktek sepakbolanya, dalam Piala AFF saja Indonesia belum sama sekali
merasakan nikmatnya menjadi juara dan hanya puas menjadi juara runner up karena
memang Indonesia adalah Negara dengan torehan runner up terbanyak di
Piala AFF (kompetisi dua tahunan antar Negara Asia Tenggara).
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, disingkat PSSI, adalah organisasi induk yang bertugas mengatur kegiatan olahraga sepak bola diIndonesia. PSSI berdiri pada
tanggal 19 April 1930 dengan
nama awal Persatuan Sepak Raga Seluruh
Indonesia. Ketua umum pertamanya adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo. PSSI dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta dengan nama Persatuan Sepak Raga
Seluruh Indonesia. Sebagai organisasi olahraga yang lahir pada masa penjajahan Belanda, kelahiran PSSI
ada kaitannya dengan upaya politik untuk menentang penjajahan. Apabila mau
meneliti dan menganalisa lebih lanjut saat-saat sebelum, selama, dan sesudah
kelahirannya hingga 5 tahun pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terlihat jelas bahwa
PSSI lahir dibidani oleh muatan politis, baik secara langsung maupun tidak,
untuk menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih-benih nasionalisme di
dada pemuda-pemuda Indonesia yang ikut bergabung.
PSSI didirikan oleh seorang insinyur sipil
bernama Soeratin Sosrosoegondo. Ia menyelesaikan
pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada tahun 1927 dan kembali ketanah air pada tahun 1928. Ketika kembali, Soeratin bekerja
pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang
berkantor pusat di Yogyakarta.
Di sana beliau merupakan satu-satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan komisaris
perusahaan konstruksi besar itu. Akan tetapi, didorong oleh semangat
nasionalisme yang tinggi, beliau kemudian memutuskan untuk mundur dari
perusahaan tersebut. (http://id.wikipedia.org/wiki/Persatuan_Sepak_Bola_Seluruh_Indonesia)
Mendengar
kata PSSI pasti pikiran kita akan tertuju pada sebuah konflik dan perseteruan,
memang dunia persepakbolaan negeri ini yang dikomandoi oleh PSSI akhir-akhir
ini mengalami guncangan demi guncangan, ada yang mempertahankan Organisasi PSSI
da nada juga yang katanya berniat ingin menyelamatkan sepakbola Indonesia dan
dari sanalah terbelah menjadi dua kubu. Kubu yang memegang hak yuridiksi
oraganisasi yaitu bapak-bapak stokeholder dari PSSI dan kubu semacam
oposisi yang dikomandoi oleh orang-orang yang berbeda pendapat maupun
kepentingan dari orang yang duduk di PSSI. ‘Perang’ pun dimulai, saling
caci-mencaci itu sudah biasa dan saling cap-mencap menjadi kebiasaan. Ada cap
abal-abal lah cap ilegal lah dan cap-cap yang lainnya.
Perang ini
dimulai sejak tahun 2011, ketika para pecinta sepakbola Indonesia sudah tidak
tahan lagi dengan tingkah laku para pejabat PSSI yang masih saja memakai jasa
Nurdin Halid sebagai Ketua Umum padahal beliau sudah menjadi tersangka kasus
korupsi sejak tanggal 13
Agustus 2007. Maka gendering reformasi PSSI pun bergejolak dari berbagai
belahan aspek masyarakat mulai dari supporter sampai pada tingkat pengurus klub
pun ikut andil dalam gejolak reformasi tersebut. Dan gejolak reformasi PSSI
tersebut menemukan klimaksnya pada tanggal 9 Juli 2011 dengan dijelarnya Konres
Luar Biasa (KLB) di Surakarta yang sebelumnya ada Kongres-kongres yang tidak
kundusif sampai-sampai dibentuknya Komite Normalisasi yang diketuai oleh Agum
Gumelar.
Dengan dinamika yang alot dan kericuhan-kericuhan
yang terjadi pada KLB tersebut namun akhirnya forum
pun menemukan titik terang dan terpilihlah Djohar Arifin
sebagai Ketua Umum, sedangkan Wakil Ketua Umum ditunjuk Farid Rahman dan sementara
9 anggota Komite Eksekutif adalah La Nyalla Mahmud Mattalitti, Mawardy Nurdin,
Roberto Rhouw, Tuti Dau, Widodo Santoso, Sihar Sitorus, Erwin Dwi Budiawan,
Tony Apriani dan Bob Hippy. Dan KLB pun ditutup pada hari itu juga oleh
Ketua Komite Normalisasi Agum Gumelar.
Habis manis, sepah
dibuang. Pepatah ini mungkin bisa menggambarkan apa yang dialami oleh Alfred
Riedl, pelatih Tim Nasional (Timnas) Indonesia, yang berhasil membawa Indonesia
ke final Piala AFF tahun lalu, walaupun akhirnya Indonesia harus bertekuk lutut
di hadapan Malaysia. Pun begitu, tanpa Riedl, belum tentu Garuda mengocek
bola di putaran final yang bergengsi itu. Baru lima hari dari
terpilihnya Ketua PSSI yang baru, Djohar Arifin Husain, menyatakan alasan
pemecatan Riedl, pelatih asal Austria itu, karena ia tidak punya kontrak dengan
PSSI. “Pelatihnya bukan Riedl lagi. Ia (Riedl) tidak dikontrak PSSI.
Kami cari surat kontraknya di PSSI, tetapi enggak dapat. Pelatih baru dari
Belanda. Kami butuh penyegaran,” katanya (kompas.com).
Pro dan kontra pun terjadi menyusul pemecatan
yang mendadak ini. Di kolom komentar media online banyak pihak yang
menyayangkan, mengingat Riedl pernah berjasa mengharumkan nama Indonesia.
Apalagi hanya menghitung hari Timnas akan bermain di prakualifikasi Piala Dunia
2014 melawan Turkmenistan.
Sudah 3 tahun (sejak 2008) FIFA dan AFC telah
menghimbau kepada Indonesia melalui PSSI agar menyelenggarakan Liga secara professional
dengan kriteria mempunyai Badai Hukum yang diakui oleh Pemerintah, mempunyai
inprastruktur untuk kegiatan klub seperti lapangan yang akan digunakan untuk
bertanding (kandang), mempunyai dana yang cukup dan tidak menyusu kepada
APBN/APBD dan bisa melalui Sponsor, setiap klub harus mempunyai tim usia muda
mulai dari U-21 sampai U-18, dan yang terakhir mempunyai manajemen yang professional.
Dan hampir semua klub yang ada di Indonesia pada saat itu tidak memenuhi kelima
syarat tersebut baik klub yang bertanding di Liga Super Indonesia maupun di
Divisu Utama.
Pada tanggal 21 Agustus 2011, PSSI yang
dipimpin oleh Djohar Arifin menggelar rapat Exco bersama sembilah anggota Exco
yang memutuskan bahwa akan mencabut mandat PT Liga Indonesia (PT. LI) sebagai
penyelenggara Liga Super Indonesia/Indonesia Super League (LSI/ISL) dan
melimpahkan mandat tersebut kepada PT Liga Prima Indonesia Supotrindo (PT.
LPIS) sebagai penyelenggara liga dan nama liga yang akan dikelola oleh PT. LPIS
adalah Liga Primer Indonesia/Indonesia Primer League (LPI/IPL) dengan alas an PT.
LI tidak mau diaudit dan melaporkan laporan keuangannya selama beberapa tahun
terakhir. Dan rapat ini pun disahkan walau ada 4 anggota Exco PSSI yang tidak
setuju yaitu La Nyala Mataliti dkk.
Dan imbas dari masalah keprofesionalan klub
yang ada di Indonesia Ketua Umum Djohar Arifin berinisiatif kepada semua klub
yang ada di Indonesia untuk mendaftarkan diri ke PSSI untuk mengikuti Liga di
Kasta tertinggi, baik itu klub yang ada di ISL maupun klub yang ada di Divisi
Utama dan Divisi bawahnya lagi. Intinya yang penting klub tersebut mendaftarkan
diri dengan membawa 5 syarat professional yang diajukan oleh FIFA/AFC apabila
memenuhi syarat maka klub tersebut berhak mengikuti Liga Kasta Tertinggi
walaupun klub tersebut telah terdegradasi maupun klub dengan hasil terburuk di
kasta paling buruk sekalipun asal memenuhi syarat professional klub tersebut
berhak, karena Djohar Arifin ingin memajukan pesepakbolaan dengan cara
profesionalisme yang mengacu pada perintah FIFA/AFC walaupun cara ini terkesan
membuat liga baru dan membubarkan liga yang sudah berlangsung sejak tahun 2008
(baca: ISL).
Maka dengan putusan Ketua Umum PSSI yang
seperti itu, ada 80 klub yang melamar ke PSSI untuk menjadi klub professional. Dan
kedelapan puluh klub yang melamar tersebut ditilai dan ‘diakreditasi’ oleh AFC
langsung dan AFC memutuskan yang lolos verifikasi kelima persyaratan tersebut
adalah 36 klub yang diharapkan dapat lengkap satu tahun kedepan. Dan Djohar pun
menggelar rapat Exco kembali untuk menentukan siapa yang akan berlaga di Liga
Kasta Tertinggi musim depan, dan rapat tersebut pun memutuskan ada 24 klub yang
akan menjadi peserta liga tersebut. Sontak pro kontra atas putusan tersebut
menggila dan menjadi-jadi. Ada yang berpendapat bahwa ini tidak fair karena
ada klub jadi-jadian bahkan klub yang sudah terdegradasi musim lalu bisa
kembali tampil menjadi peserta Liga Kasta Tertinggi tersebut. Padahal ini bukan
masalah kompetisi musim lalu karena ini masalah nilai dari 5 syarat professional
tadi meski tidak terpenuhi semuanya dan diharapkan dapat terpenuhi di tahun
mendatang.
Dan ujung dari pro kontra tersebut pada
tanggal 13 Oktober 2011 PSSI menggelar Manager Meeting untuk IPL (Liga Kata
Tertinggi yang akan bergulir di tahun 2011) yang berakhir ricuh dan 14 klub
yang musim kemarin berlaga di ISL menyatakan akan bertahan di ISL dan tidak mau
mengikuti Kompetisi yang ada pada yuridiksi PSSI selaku Federasi yang
menyelenggarakan kompetisi secara Legal dan diakui oleh FIFA. Dan dua hari
setelah itu IPL pun tetap bergulir walau hanya diikuti oleh 12 klub saja dan
pada tanggal 1 Desember 2011 ISL pun digulirkan dengan 18 klub peserta.
Maka sontak
membuat Ketua Umum PSSI berang dan Djohar pun melaporkan ISL ke FIFA bahwa ada
liga yang bergulir di luar yuridiksi PSSI dan pada tanggal 20 Desember 2011
FIFA pun menyatakan bahwa ISL adalah Breakaway League atau dengan kata
lain Liga Ilegal dan otomatis pemain-pemain ISL tidak diperbolehkan memperkuat
Timna Indonesia diajang apapun.
Dan pada
tanggal 28 Desember 2011 komplotan anggota Exco PSSI yang dipecat oleh PSSI
yaitu La Nyala Matalitti dkk memproklamasikan berdiri sebuah lembaga yang
berniat menyelamatkan persepakbolaan Indonesia dengan nama Komite Penyelamat
Sepakbola Indonesia (KPSI) dan Tony
Apriani sebagai Ketua Umumnya, singkat cerita pada tanggal 18 Maret 2012
pihak KPSI menggelar Kongres Luar Biasa PSSI (KLB) di Ancol yang memutuskan La
Nyaka Mahmud Matalitti sebagai Ketua PSSI hasil KLB Ancol yang diklaim dihadiri
oleh anggota sah PSSI dan memenuhi Qourum yang menganggap dan menyatakan mosi
tidak percaya kepada Ketua Umum PSSI Djohat Arifin sedangkan PSSI yang diketuai
oleh Djohar Arifin menggelar Kongres Tahunan di Palangkaraya yang dihadiri oleh
perwakilan FIFA dan AFC namun ada yang janggal pada pelaksanaan Kongres
tersebut yaitu dengan tidak diijinkannya PSSI menggelar Kongres di Aula Hotel
dan terpaksa Kongres pun dilaksanakan di Lobi Hotel dengan alakadarnya.
Siapa
yang salah dan siapa yang benar itu tidak bisa klaim sepihak karena
masing-masing kubu menganggap kubunya tersebut yang paling benar. Bukan tidak
mampu penulis memaparkan secara gamblang dan terperinci apa saja yang terjadi
dua tahun kebelakang yang dimulai sejak KLB Solo dengan terpilihnya Djohar
Arifin sebagai Ketua Umum, namun kesempitan alokasi waktu yang memangkas agar
tulisan ini diramu sesingkat-singkatnya.
Dan pada
tanggal 17 Maret 2013 tepatnya besok PSSI kembali akan mengelar Kongres Luar
Biasa (KLB) di Jakarta walaupun pihak KPSI sebelumnya tidak setuju dengan KLB
tersebut dengan dalih ingin Kongres tersebut bersifat Kongres Biasa karena
mungkin ada banyak kepentingan dan keuntungan yang diharap akan didapatkan
ketiak Kongres bersifat Kongres Biasa. Dan FIFA pun menegaskan bahwa Kongres
tersebut bersifat Kongres Luar Biasa dan sesuai intruksi FIFA KLB tersebut
dengan 3 agenda penting yaitu: pengembalian 4 Exco yang sebelumnya dipecat,
Penyatuan Liga, revisi statuta. Dan sekaligus dan seharusnya pembubaran KPSI
dapat dilakukan selepas KLB ini.
Tentunya
KLB 17 Maret 2013 ini adalah kesempatan terakhir bagi Indonesia untuk
menuntaskan konflik dan menghindari sanksi FIFA dan apabila rekonsiliasi tidak
tercapai pada KLB kali ini maka besar kemungkinan mimpi buruk yang
seburuk-buruknya akan menghampiri dunia persebakbolaan Indonesia bukan hanya sanksi
FIFA yang akan menghampiri Indonesia bahkan mafia-mafia bola akan terus
menggerogoti kestabilan sepakbola Indonesia dan kemungkinan yang pahit adalah
Indonesia akan didiskualifikasi dari Kualifikasi Piala Asia 2015 di Australia.
Maka
dari itu mari kita do’akan semoga rekonsiliasi di tubuh PSSI akan tercapai dan
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan akan bertaubat dan sadar diri akan
kepentingan Bangsa dan Negara yang jauh lebih penting. Dan semoga mafia-mafia
yang mementingkan urusan politik golongannya akan sadar dan apabila tidak sadar
mending cepat-cepat mati saja agar Indonesia tidak diracuni oleh orang-orang
macam kalian!!
Salam
Lima Jari, Tulisan dari orang kampung yang ke 35.
Tasikmalaya,
16 Maret 2013
Pukul
18.55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar