-->

Sabtu, 16 Maret 2013

Perjalanan Panjang Menuju Rekonsiliasi PSSi


Kisruh PSSI yang tak kunjung terselesaikan makin lama makin menjengkelkan, para elit dan kepentingan saling memangsa mengorbankan prestasi sepakbola. Mula-mula ini soal dua kubu yang kemudian tak mau berhenti berseteru, mereka memperebutkan kuasa seolah sepakbola hanya urusan ego semata. Konflik ini jalinan sebab-akibat, kepentingan dilandasi dendam kesumat. Sepakbola memang industry seksi jabatannya bergengsi urusannya mudah dipolitisasi. Kini semua tersandera bola mati, menolak
rekonsiliasi. Hanya akan membuat olah raga ini mati suri, seantero negeri rindu prestasi, ingin teriak setengah hati. Saat merah putih raih medali. Wahai kalian yang sibuk tarik urat, cukup sudah semua maneuver dan muslihat. Kami muak dengan pentas arogansi, pameran basi, orang yang tak rela kehilangan posisi. (Catatan Najwa – Mata Najwa Episode Bola Mati PSSI 14 April 2012)
Dunia sepakbola Indonesia adalah dunianya semua generasi karena dari anak umur 5 tahun sampai kakek tua semuanya suka dengan olahraga sepakbola meskipun hanya menjadi penonton setia selamanya. Tidak diragukan lagi dengan dicatatankannya Indonesia sebagai Negara ketiga dengan supporter Sepakbola terloyal, terfanatik dan terbesar di dunia menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia persepakbolaan di Negeri ini namun sangat disayangkan sekali dengan ‘prestasi’ supporter terbesar ketiga sedunianya Indonesia tidak mampu bersaing di bidang praktek sepakbolanya, dalam Piala AFF saja Indonesia belum sama sekali merasakan nikmatnya menjadi juara dan hanya puas menjadi juara runner up karena memang Indonesia adalah Negara dengan torehan runner up terbanyak di Piala AFF (kompetisi dua tahunan antar Negara Asia Tenggara).
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, disingkat PSSI, adalah organisasi induk yang bertugas mengatur kegiatan olahraga sepak bola diIndonesia. PSSI berdiri pada tanggal 19 April 1930 dengan nama awal Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Ketua umum pertamanya adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo. PSSI dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta dengan nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Sebagai organisasi olahraga yang lahir pada masa penjajahan Belanda, kelahiran PSSI ada kaitannya dengan upaya politik untuk menentang penjajahan. Apabila mau meneliti dan menganalisa lebih lanjut saat-saat sebelum, selama, dan sesudah kelahirannya hingga 5 tahun pasca proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, terlihat jelas bahwa PSSI lahir dibidani oleh muatan politis, baik secara langsung maupun tidak, untuk menentang penjajahan dengan strategi menyemai benih-benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia yang ikut bergabung.
PSSI didirikan oleh seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo. Ia menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Teknik Tinggi di Heckelenburg, Jerman, pada tahun 1927 dan kembali ketanah air pada tahun 1928. Ketika kembali, Soeratin bekerja pada sebuah perusahaan bangunan Belanda, Sizten en Lausada, yang berkantor pusat di Yogyakarta. Di sana beliau merupakan satu-satunya orang Indonesia yang duduk sejajar dengan komisaris perusahaan konstruksi besar itu. Akan tetapi, didorong oleh semangat nasionalisme yang tinggi, beliau kemudian memutuskan untuk mundur dari perusahaan tersebut. (http://id.wikipedia.org/wiki/Persatuan_Sepak_Bola_Seluruh_Indonesia)
Mendengar kata PSSI pasti pikiran kita akan tertuju pada sebuah konflik dan perseteruan, memang dunia persepakbolaan negeri ini yang dikomandoi oleh PSSI akhir-akhir ini mengalami guncangan demi guncangan, ada yang mempertahankan Organisasi PSSI da nada juga yang katanya berniat ingin menyelamatkan sepakbola Indonesia dan dari sanalah terbelah menjadi dua kubu. Kubu yang memegang hak yuridiksi oraganisasi yaitu bapak-bapak stokeholder dari PSSI dan kubu semacam oposisi yang dikomandoi oleh orang-orang yang berbeda pendapat maupun kepentingan dari orang yang duduk di PSSI. ‘Perang’ pun dimulai, saling caci-mencaci itu sudah biasa dan saling cap-mencap menjadi kebiasaan. Ada cap abal-abal lah cap ilegal lah dan cap-cap yang lainnya.
Perang ini dimulai sejak tahun 2011, ketika para pecinta sepakbola Indonesia sudah tidak tahan lagi dengan tingkah laku para pejabat PSSI yang masih saja memakai jasa Nurdin Halid sebagai Ketua Umum padahal beliau sudah menjadi tersangka kasus korupsi sejak tanggal 13 Agustus 2007. Maka gendering reformasi PSSI pun bergejolak dari berbagai belahan aspek masyarakat mulai dari supporter sampai pada tingkat pengurus klub pun ikut andil dalam gejolak reformasi tersebut. Dan gejolak reformasi PSSI tersebut menemukan klimaksnya pada tanggal 9 Juli 2011 dengan dijelarnya Konres Luar Biasa (KLB) di Surakarta yang sebelumnya ada Kongres-kongres yang tidak kundusif sampai-sampai dibentuknya Komite Normalisasi yang diketuai oleh Agum Gumelar.
Dengan dinamika yang alot dan kericuhan-kericuhan yang terjadi pada KLB tersebut namun akhirnya forum pun menemukan titik terang dan terpilihlah Djohar Arifin sebagai Ketua Umum, sedangkan Wakil Ketua Umum ditunjuk Farid Rahman dan sementara 9 anggota Komite Eksekutif adalah La Nyalla Mahmud Mattalitti, Mawardy Nurdin, Roberto Rhouw, Tuti Dau, Widodo Santoso, Sihar Sitorus, Erwin Dwi Budiawan, Tony Apriani dan Bob Hippy. Dan KLB pun ditutup pada hari itu juga oleh Ketua Komite Normalisasi Agum Gumelar.
Habis manis, sepah dibuang. Pepatah ini mungkin bisa menggambarkan apa yang dialami oleh Alfred Riedl, pelatih Tim Nasional (Timnas) Indonesia, yang berhasil membawa Indonesia ke final Piala AFF tahun lalu, walaupun akhirnya Indonesia harus bertekuk lutut di hadapan Malaysia. Pun begitu,  tanpa Riedl, belum tentu Garuda mengocek bola di putaran final yang bergengsi itu. Baru lima hari dari terpilihnya Ketua PSSI yang baru, Djohar Arifin Husain, menyatakan alasan pemecatan Riedl, pelatih asal Austria itu, karena ia tidak punya kontrak dengan PSSI. “Pelatihnya bukan Riedl lagi. Ia (Riedl) tidak dikontrak PSSI. Kami cari surat kontraknya di PSSI, tetapi enggak dapat. Pelatih baru dari Belanda. Kami butuh penyegaran,” katanya (kompas.com).
Pro dan kontra pun terjadi menyusul pemecatan yang mendadak ini. Di kolom komentar media online banyak pihak yang menyayangkan, mengingat Riedl pernah berjasa mengharumkan nama Indonesia. Apalagi hanya menghitung hari Timnas akan bermain di prakualifikasi Piala Dunia 2014 melawan Turkmenistan.
Sudah 3 tahun (sejak 2008) FIFA dan AFC telah menghimbau kepada Indonesia melalui PSSI agar menyelenggarakan Liga secara professional dengan kriteria mempunyai Badai Hukum yang diakui oleh Pemerintah, mempunyai inprastruktur untuk kegiatan klub seperti lapangan yang akan digunakan untuk bertanding (kandang), mempunyai dana yang cukup dan tidak menyusu kepada APBN/APBD dan bisa melalui Sponsor, setiap klub harus mempunyai tim usia muda mulai dari U-21 sampai U-18, dan yang terakhir mempunyai manajemen yang professional. Dan hampir semua klub yang ada di Indonesia pada saat itu tidak memenuhi kelima syarat tersebut baik klub yang bertanding di Liga Super Indonesia maupun di Divisu Utama.
Pada tanggal 21 Agustus 2011, PSSI yang dipimpin oleh Djohar Arifin menggelar rapat Exco bersama sembilah anggota Exco yang memutuskan bahwa akan mencabut mandat PT Liga Indonesia (PT. LI) sebagai penyelenggara Liga Super Indonesia/Indonesia Super League (LSI/ISL) dan melimpahkan mandat tersebut kepada PT Liga Prima Indonesia Supotrindo (PT. LPIS) sebagai penyelenggara liga dan nama liga yang akan dikelola oleh PT. LPIS adalah Liga Primer Indonesia/Indonesia Primer League (LPI/IPL) dengan alas an PT. LI tidak mau diaudit dan melaporkan laporan keuangannya selama beberapa tahun terakhir. Dan rapat ini pun disahkan walau ada 4 anggota Exco PSSI yang tidak setuju yaitu La Nyala Mataliti dkk.
Dan imbas dari masalah keprofesionalan klub yang ada di Indonesia Ketua Umum Djohar Arifin berinisiatif kepada semua klub yang ada di Indonesia untuk mendaftarkan diri ke PSSI untuk mengikuti Liga di Kasta tertinggi, baik itu klub yang ada di ISL maupun klub yang ada di Divisi Utama dan Divisi bawahnya lagi. Intinya yang penting klub tersebut mendaftarkan diri dengan membawa 5 syarat professional yang diajukan oleh FIFA/AFC apabila memenuhi syarat maka klub tersebut berhak mengikuti Liga Kasta Tertinggi walaupun klub tersebut telah terdegradasi maupun klub dengan hasil terburuk di kasta paling buruk sekalipun asal memenuhi syarat professional klub tersebut berhak, karena Djohar Arifin ingin memajukan pesepakbolaan dengan cara profesionalisme yang mengacu pada perintah FIFA/AFC walaupun cara ini terkesan membuat liga baru dan membubarkan liga yang sudah berlangsung sejak tahun 2008 (baca: ISL).
Maka dengan putusan Ketua Umum PSSI yang seperti itu, ada 80 klub yang melamar ke PSSI untuk menjadi klub professional. Dan kedelapan puluh klub yang melamar tersebut ditilai dan ‘diakreditasi’ oleh AFC langsung dan AFC memutuskan yang lolos verifikasi kelima persyaratan tersebut adalah 36 klub yang diharapkan dapat lengkap satu tahun kedepan. Dan Djohar pun menggelar rapat Exco kembali untuk menentukan siapa yang akan berlaga di Liga Kasta Tertinggi musim depan, dan rapat tersebut pun memutuskan ada 24 klub yang akan menjadi peserta liga tersebut. Sontak pro kontra atas putusan tersebut menggila dan menjadi-jadi. Ada yang berpendapat bahwa ini tidak fair karena ada klub jadi-jadian bahkan klub yang sudah terdegradasi musim lalu bisa kembali tampil menjadi peserta Liga Kasta Tertinggi tersebut. Padahal ini bukan masalah kompetisi musim lalu karena ini masalah nilai dari 5 syarat professional tadi meski tidak terpenuhi semuanya dan diharapkan dapat terpenuhi di tahun mendatang.
Dan ujung dari pro kontra tersebut pada tanggal 13 Oktober 2011 PSSI menggelar Manager Meeting untuk IPL (Liga Kata Tertinggi yang akan bergulir di tahun 2011) yang berakhir ricuh dan 14 klub yang musim kemarin berlaga di ISL menyatakan akan bertahan di ISL dan tidak mau mengikuti Kompetisi yang ada pada yuridiksi PSSI selaku Federasi yang menyelenggarakan kompetisi secara Legal dan diakui oleh FIFA. Dan dua hari setelah itu IPL pun tetap bergulir walau hanya diikuti oleh 12 klub saja dan pada tanggal 1 Desember 2011 ISL pun digulirkan dengan 18 klub peserta.
Maka sontak membuat Ketua Umum PSSI berang dan Djohar pun melaporkan ISL ke FIFA bahwa ada liga yang bergulir di luar yuridiksi PSSI dan pada tanggal 20 Desember 2011 FIFA pun menyatakan bahwa ISL adalah Breakaway League atau dengan kata lain Liga Ilegal dan otomatis pemain-pemain ISL tidak diperbolehkan memperkuat Timna Indonesia diajang apapun.
Dan pada tanggal 28 Desember 2011 komplotan anggota Exco PSSI yang dipecat oleh PSSI yaitu La Nyala Matalitti dkk memproklamasikan berdiri sebuah lembaga yang berniat menyelamatkan persepakbolaan Indonesia dengan nama Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) dan Tony Apriani sebagai Ketua Umumnya, singkat cerita pada tanggal 18 Maret 2012 pihak KPSI menggelar Kongres Luar Biasa PSSI (KLB) di Ancol yang memutuskan La Nyaka Mahmud Matalitti sebagai Ketua PSSI hasil KLB Ancol yang diklaim dihadiri oleh anggota sah PSSI dan memenuhi Qourum yang menganggap dan menyatakan mosi tidak percaya kepada Ketua Umum PSSI Djohat Arifin sedangkan PSSI yang diketuai oleh Djohar Arifin menggelar Kongres Tahunan di Palangkaraya yang dihadiri oleh perwakilan FIFA dan AFC namun ada yang janggal pada pelaksanaan Kongres tersebut yaitu dengan tidak diijinkannya PSSI menggelar Kongres di Aula Hotel dan terpaksa Kongres pun dilaksanakan di Lobi Hotel dengan alakadarnya.
Siapa yang salah dan siapa yang benar itu tidak bisa klaim sepihak karena masing-masing kubu menganggap kubunya tersebut yang paling benar. Bukan tidak mampu penulis memaparkan secara gamblang dan terperinci apa saja yang terjadi dua tahun kebelakang yang dimulai sejak KLB Solo dengan terpilihnya Djohar Arifin sebagai Ketua Umum, namun kesempitan alokasi waktu yang memangkas agar tulisan ini diramu sesingkat-singkatnya.
Dan pada tanggal 17 Maret 2013 tepatnya besok PSSI kembali akan mengelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Jakarta walaupun pihak KPSI sebelumnya tidak setuju dengan KLB tersebut dengan dalih ingin Kongres tersebut bersifat Kongres Biasa karena mungkin ada banyak kepentingan dan keuntungan yang diharap akan didapatkan ketiak Kongres bersifat Kongres Biasa. Dan FIFA pun menegaskan bahwa Kongres tersebut bersifat Kongres Luar Biasa dan sesuai intruksi FIFA KLB tersebut dengan 3 agenda penting yaitu: pengembalian 4 Exco yang sebelumnya dipecat, Penyatuan Liga, revisi statuta. Dan sekaligus dan seharusnya pembubaran KPSI dapat dilakukan selepas KLB ini.
Tentunya KLB 17 Maret 2013 ini adalah kesempatan terakhir bagi Indonesia untuk menuntaskan konflik dan menghindari sanksi FIFA dan apabila rekonsiliasi tidak tercapai pada KLB kali ini maka besar kemungkinan mimpi buruk yang seburuk-buruknya akan menghampiri dunia persebakbolaan Indonesia bukan hanya sanksi FIFA yang akan menghampiri Indonesia bahkan mafia-mafia bola akan terus menggerogoti kestabilan sepakbola Indonesia dan kemungkinan yang pahit adalah Indonesia akan didiskualifikasi dari Kualifikasi Piala Asia 2015 di Australia.
Maka dari itu mari kita do’akan semoga rekonsiliasi di tubuh PSSI akan tercapai dan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan akan bertaubat dan sadar diri akan kepentingan Bangsa dan Negara yang jauh lebih penting. Dan semoga mafia-mafia yang mementingkan urusan politik golongannya akan sadar dan apabila tidak sadar mending cepat-cepat mati saja agar Indonesia tidak diracuni oleh orang-orang macam kalian!!

Salam Lima Jari, Tulisan dari orang kampung yang ke 35.
Tasikmalaya, 16 Maret 2013
Pukul 18.55 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar