Entah
bagaimana aku memahami kegelisahanku
Apakah
akalku yang tak mampu ataukah akalku yang buntu
Bagaimana
bisa,
Tuhan
Sang Penggenggam Kuasa semesta masih menuntut kesungguhan bakti Ibrahim, sang
pesuruh Tuhan yang setia
Bagaimana
mungkin aku bisa memahami Tuhan Penggenggam Kuasa itu meminta Ibrahim untuk
menyembelih putra terkasihnya?
Dan tak
mungkin Ibrahim membantah
Aku tak
peduli,
Ismail
atau Ishak yang tergeletak pasrah menyongsong kilatan pedang yang menggidiknya
itu,
Bahkan
saat Ibrahim terpejam menggorokkan pedang tajamnya pada leher jenjang yang
terlentang pasrah,
Lalu
darah mengucur dan menyembur . . . . . .
Meski
darah itu hanya darah seekor domba;
Batinku
tetap tak bisa menerima begitu saja
Ini jelas
penindasan!
Ini kesewenang-wenangan!
Lalu
kukaji ragam cerita dari kitab-kitab suci
Lalu
kutemui ragam ajaran kebijaksanaan dari para bijak bestari
Lalu
kudapatkan, kurasakan, dan kuendapkan
Bahkan
pada segala peristiwa di mayapada
Kutangkap
dengan mata kepala dan dada,
Lalu
kueja, meski terbata
Hemm,
Di ujung
lelahku, ketika segala laku piker mandeg sendiri
Semua
luruh dalam senyap dan sepi
Perlahan
aku seperti mendengar Tuhan berbisik,
“Begitulah
Susana hati-Ku wahai Ibrahim. Karena janji-Ku, Aku harus mengabulkan semua
permintaanmu, apa pun itu! Maka , hendaklah kamu tidak lagi memohon agar Aku
melumatkan mereka yang tidak sepaham denganmu dari wilayah kekuasaan-Ku. Karena
Aku juga menyayangi mereka sebagaimana kamu mengasihi Ismail dan Ishak, bahkan
lebih.
Ki Ageng
Suryomentaran: dari laku Kasyaf, Buku Langgar, hingga Wejangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar