Kebenaran hanya ada ketika Allah
menafsirkan sendiri Al-Qur'an. Selain itu, semuanya adalah
pembenaran-pembenaran dan upaya-upaya pendekatan kepada kebenaran.
Kalau Allah mau, dia akan
menjadikan manusia ummat yang satu: tidak ada Hambali-Hanafi, tidak ada
sunni-syiah. Namun karena "Jibril belum pensiun" maka ide-ide dan
gagasan akan selalu diberikan kepada orang-orang yang selalu selalu berfikir
dan merenungkan kebenaran. Ide dan gagasan itu dicari pembenarannya dengan
kembali membuka Al-Qur'an. Ide-ide itu selalu berbeda meski semuanya merasa
idenya itu dibenarkan Al-Qur'an. Hal ini terjadi karena ide yang datang dari
Jibril itu sifatnya universal, tidak memiliki bentuk. Namun ketika akal-akal
yang berbeda itu menerima ide, maka akal melalui otak menarik ide itu ke dalam
otak dengan memberinya bentuk. Karena otak sifatnya mengklasifikasi dan memaksa
ide menemukan ruang, maka di sanalah perbedaan muncul.
Ketika ide yang telah diberi
bentuk dan telah berbeda-beda untuk masing-masing individu, namun ketika
ide-ide itu bersentuhan dengan Al-Qur'an, maka ide-ide yang telah diberi ruang
itu kembali menemukan nilainya yang universal. Sebab Al-Qur'an adalah
"ide" yang lebih tinggi yang "ide" itu hanya mampu diterima
oleh seorang manusia yang paling dalam perenungan dan pemikirannya, Muhammad
Saw.
Al-Qur'an, akal dan Islam adalah
tiga hal yang tidak mungkin berseberangan. Al-Qur'an yang ditafsirkan oleh akal
ke dalam perbuatan di alam akan menciptakan keseimbanyan yang nyata. Alam mampu
seimbang adalah karena zikir dan tasbih. Dosa-dosa manusia yang menumpuk
nantinya di segala unsur alam baik di tanah yang menyaring air bekas wudhuk
maupun di udara akibat kalimat-kalimat yang menyatakan Allah beranak, dan
lainnya.
Ide, sama seperti Al-Qur'an
datang dari Allah melalui Jibril. Jibril pengantar ide bila dikaitkan dengan
teori emanasi Al-Farabi maka akan menemukan pembenarannya pada bagian-bagian
tertentu.
Perbedaan-perbedaan pemikiran
karena sebab yang telah disebutkan di atas tadi adalah jalan supaya pemikiran
terus berlangsung karena pemikiran hanya akan tajam bila diasah dengan
pemikiran lainnya yang berbeda pola. Bila pemikiran-pemikiran itu sama maka
pikiran akan statis dan membeku. Kesimpulan terbaik adalah tidak ada
kesimpulan. Pada wilayah inilah kita dapat menemukan kebenaran hadits Nabi yang
mengatakan perbedaan adalah rahmat.
Salah-satu contoh perbedaan yang
terus mengasah pemikiran kaum muslim adalah diskursus mengenai qadha dan qadar.
Banyak yang lupa bahwa kehendak manusia itu adalah murni dari Allah juga. Kita
kadang tidak menyadari bahwa sebuah keputusan yang kita ambil adalah
manifestasi tertinggi dari proses-proses dan tahap tahap tertentu yang
melibatkan banyak hal tertentu. Karena prosesnya berlangsung begitu capat, maka
kita menganggapnya tidak terjadi. Demikian "kesimpulan" saya.
Ada pendapat bahwa keterlibatan
manusia dalam menentukan kehendaknya adalah persis seorang manusia menganggat
batu raksasa. Bersamanya ada raksasa yang mengangkat batu itu. Dia terlibat
mengangkat meski yang mengangkat itu raksasa itu. "Ketika kamu melempar,
maka sesungguhnya Allahlah yang melempar". Oleh sebab itu Allah tidak
menilai manusia dari keberhasilannya namun dari proses, dari usahanya. Isa
gagal dalam dakwahnya. Nuh cuma punya beberapa orang pengikut dalam dakwahnya
sembilan ratus tahun. Tapi mereka jadi Ulul Azmi.
Suatu pemikiran dianggap sebagai
kebenaran adalah ketika dianya belum mampu dibantah oleh ide lainnya.
Ibnu Tufail menulis sebuah yang
novel menceritakan seorang pengembara yang dapat menemukan Tuhan dan
"kebenaran" tanpa bimbingan wahyu. Namun Tuhan yang dia temukan
ini adalah "Tuhan yang belum selesai".
Seseorang dapat mengetahui
nilai-nilai universal segala sesuatu tanpa melalui bimbingan wahyu adalah bukti
bahwa akal dan wahyu seiring sejalan. Namun penemuan-penemuan itu tidak dapat
dijadikan standar berkehidupan sebab garis-garis pedoman kehidupan diatur dalam
syariat. Sementara Syariat dirumuskan dalam Hukum Fiqih. Dan Fiqih hanya
memberi porsi yang sangat sedikit bagi wilayah akal dalam merumuskan hukum.
Syariat adalah batasan-batasan yang menjadi standar bagi manusia dalam
menjalankan perintah Allah. Untuk kapasitas manusia, Tuhan "selesai"
dalam syariat.
Amalan-amalan dalam Islam bila
disandarkan pada penemuan akal bukan wahyu maka akal akan menjalankan wakta
alami manusianya yang cenderung mengutamakan nafsu. Misalnya orang akan mencuri
700 dan mengembalikan 1 sebagai sedekah. Sebab sedekah 1 pahalanya 700. Maka si
pencuri punya sisa keuntungan 669. Akal berguna untuk menemukan dan menjelaskan
kebenaran wahyu dalam tindakan praktis, bukan mengakal-akali Firman.
Salm Lima Jari, Tulisan dari orang Kampung!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar