-->

Rabu, 15 Mei 2013

(Tuhan) Belum Selesai


Kebenaran hanya ada ketika Allah menafsirkan sendiri Al-Qur'an. Selain itu, semuanya adalah pembenaran-pembenaran dan upaya-upaya pendekatan kepada kebenaran.

Kalau Allah mau, dia akan menjadikan manusia ummat yang satu: tidak ada Hambali-Hanafi, tidak ada
sunni-syiah. Namun karena "Jibril belum pensiun" maka ide-ide dan gagasan akan selalu diberikan kepada orang-orang yang selalu selalu berfikir dan merenungkan kebenaran. Ide dan gagasan itu dicari pembenarannya dengan kembali membuka Al-Qur'an. Ide-ide itu selalu berbeda meski semuanya merasa idenya itu dibenarkan Al-Qur'an. Hal ini terjadi karena ide yang datang dari Jibril itu sifatnya universal, tidak memiliki bentuk. Namun ketika akal-akal yang berbeda itu menerima ide, maka akal melalui otak menarik ide itu ke dalam otak dengan memberinya bentuk. Karena otak sifatnya mengklasifikasi dan memaksa ide menemukan ruang, maka di sanalah perbedaan muncul.

Ketika ide yang telah diberi bentuk dan telah berbeda-beda untuk masing-masing individu, namun ketika ide-ide itu bersentuhan dengan Al-Qur'an, maka ide-ide yang telah diberi ruang itu kembali menemukan nilainya yang universal. Sebab Al-Qur'an adalah "ide" yang lebih tinggi yang "ide" itu hanya mampu diterima oleh seorang manusia yang paling dalam perenungan dan pemikirannya, Muhammad Saw.

Al-Qur'an, akal dan Islam adalah tiga hal yang tidak mungkin berseberangan. Al-Qur'an yang ditafsirkan oleh akal ke dalam perbuatan di alam akan menciptakan keseimbanyan yang nyata. Alam mampu seimbang adalah karena zikir dan tasbih. Dosa-dosa manusia yang menumpuk nantinya di segala unsur alam baik di tanah yang menyaring air bekas wudhuk maupun di udara akibat kalimat-kalimat yang menyatakan Allah beranak, dan lainnya.


Ide, sama seperti Al-Qur'an datang dari Allah melalui Jibril. Jibril pengantar ide bila dikaitkan dengan teori emanasi Al-Farabi maka akan menemukan pembenarannya pada bagian-bagian tertentu.

Perbedaan-perbedaan pemikiran karena sebab yang telah disebutkan di atas tadi adalah jalan supaya pemikiran terus berlangsung karena pemikiran hanya akan tajam bila diasah dengan pemikiran lainnya yang berbeda pola. Bila pemikiran-pemikiran itu sama maka pikiran akan statis dan membeku. Kesimpulan terbaik adalah tidak ada kesimpulan. Pada wilayah inilah kita dapat menemukan kebenaran hadits Nabi yang mengatakan perbedaan adalah rahmat.

Salah-satu contoh perbedaan yang terus mengasah pemikiran kaum muslim adalah diskursus mengenai qadha dan qadar. Banyak yang lupa bahwa kehendak manusia itu adalah murni dari Allah juga. Kita kadang tidak menyadari bahwa sebuah keputusan yang kita ambil adalah manifestasi tertinggi dari proses-proses dan tahap tahap tertentu yang melibatkan banyak hal tertentu. Karena prosesnya berlangsung begitu capat, maka kita menganggapnya tidak terjadi. Demikian "kesimpulan" saya.

Ada pendapat bahwa keterlibatan manusia dalam menentukan kehendaknya adalah persis seorang manusia menganggat batu raksasa. Bersamanya ada raksasa yang mengangkat batu itu. Dia terlibat mengangkat meski yang mengangkat itu raksasa itu. "Ketika kamu melempar, maka sesungguhnya Allahlah yang melempar". Oleh sebab itu Allah tidak menilai manusia dari keberhasilannya namun dari proses, dari usahanya. Isa gagal dalam dakwahnya. Nuh cuma punya beberapa orang pengikut dalam dakwahnya sembilan ratus tahun. Tapi mereka jadi Ulul Azmi.

Suatu pemikiran dianggap sebagai kebenaran adalah ketika dianya belum mampu dibantah oleh ide lainnya.

Ibnu Tufail menulis sebuah yang novel menceritakan seorang pengembara yang dapat menemukan Tuhan dan "kebenaran" tanpa bimbingan wahyu.  Namun Tuhan yang dia temukan ini adalah "Tuhan yang belum selesai".

Seseorang dapat mengetahui nilai-nilai universal segala sesuatu tanpa melalui bimbingan wahyu adalah bukti bahwa akal dan wahyu seiring sejalan. Namun penemuan-penemuan itu tidak dapat dijadikan standar berkehidupan sebab garis-garis pedoman kehidupan diatur dalam syariat. Sementara Syariat dirumuskan dalam Hukum Fiqih. Dan Fiqih hanya memberi porsi yang sangat sedikit bagi wilayah akal dalam merumuskan hukum. Syariat adalah batasan-batasan yang menjadi standar bagi manusia dalam menjalankan perintah Allah. Untuk kapasitas manusia, Tuhan "selesai" dalam syariat.

Amalan-amalan dalam Islam bila disandarkan pada penemuan akal bukan wahyu maka akal akan menjalankan wakta alami manusianya yang cenderung mengutamakan nafsu. Misalnya orang akan mencuri 700 dan mengembalikan 1 sebagai sedekah. Sebab sedekah 1 pahalanya 700. Maka si pencuri punya sisa keuntungan 669. Akal berguna untuk menemukan dan menjelaskan kebenaran wahyu dalam tindakan praktis, bukan mengakal-akali Firman.

Salm Lima Jari, Tulisan dari orang Kampung!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar