Manusia memang akan punah. Apa yang pernah ada, pasti suatu saat
akan punah. Itu adalah hukum baja sejarah yang tak bisa dihindari. Pertanyannya
kemudian, kapan kita akan punah? Menyimak beragam gejala dunia, rupanya
waktunya tidak akan lama lagi. Penyebabnya adalah diri kita
sendiri. Sebagai satu spesies, kita seolah melakukan bunuh diri sosial, yakni
bunuh diri spesies kita sendiri sebagai manusia. Kita saling
membunuh. Kita
merusak alam. Segala yang kita lakukan seperti tak habis-habisnya berusaha
membunuh spesies kita sendiri. Di Indonesia, korupsi bagaikan
kanker yang merusak segalanya, mulai dari keadaan keuangan bangsa, sampai
dengan moral hidup sehari-hari. Kekerasan dan ketidakmampuan hidup dalam
perbedaan sudut pandang melahirkan perang dan penderitaan bagi semua. Konflik
antar agama dan antar kelompok membuat hidup bersama menjadi amat sulit. Aku
korupsi, maka aku ada, itulah kiranya yang menjadi semboyan sehari-hari para
pejabat politik, hukum, maupun ekonomi kita di Indonesia.
Di belahan dunia lain, perang
terus berkobar. Israel dan Palestina hampir mustahil mencapai perdamaian.
Perang saudara di Suriah juga belum menunjukkan titik akhir. Protes massal yang
berujung pada konflik fisik antara demonstran dan polisi di Turki juga belum
menemukan titik kesepakatan. Baru-baru ini, preman yang menamakan dirinya FPI
(Front Pembela Islam) juga bikin onar di Surabaya. Itu konflik antar manusia. Di
sisi lain, dengan segala ilmu pengetahuan yang kita miliki, kita membunuh
banyak hewan. Ada belasan ribu spesies hewan yang punah sebagai dampak langsung
maupun tidak langsung dari tindakan manusia. Kita bahkan “tega” mengacaukan
rancangan genetika satu spesies hewan (ayam misalnya), supaya kita bisa
menyantap mereka lebih dan lebih lagi. Jika ayam bisa melawan, mereka akan
mengandakan perang besar dengan manusia.
Hampir setiap detik, kita merusak
udara. Dengan konsumsi bahan bakar yang luar biasa besar, kita menghisap energi
dari alam, dan mengubahnya jadi sampah yang merusak alam itu sendiri. Hutan
hancur, karena diubah menjadi kawasan rumah mewah yang besar dan mahal,
walaupun penghuninya tidak pernah ada di rumah, karena harus bekerja keras
untuk merawat rumah mewah miliknya (ironis?). Ketika hutan hancur, ratusan
spesies hewan dan tumbuhan juga ikut hancur bersamanya. Ini semua terjadi,
karena kedunguan dan kerakusan kita sebagai manusia. Dampak yang sudah nyata adalah
perubahan iklim. Cuaca menjadi kacau. Akibatnya, banyak panen gagal, sehingga
bahan makanan semakin sulit diperoleh. Jika pun ada, harganya menjadi tidak
menentu. Hujan yang berlebihan juga menyebabkan bencana banjir, seperti di
daerah Passau, Jerman Selatan, yang baru-baru ini dihantam banjir, karena hujan
berhari-hari. Volume air laut juga meningkat, sehingga banyak menenggelamkan
pulau-pulau kecil yang ada.
Apakah kita sebagai manusia punya
“keinginan untuk mati” (death wish) yang
tinggi, namun terpendam? Seolah apapun yang kita lakukan bermuara pada
kehancuran spesies kita sendiri. Kita menciptakan teknologi untuk membantu
kita. Namun, dengan teknologi ini, kita justru menghancurkan diri kita sendiri.
Inilah paradoks manusia yang paling jelas terlihat, sekaligus paling tak
disadari.
What rise must fall, apa yang pernah ada harus juga
hancur. Ini mungkin fakta yang paling nyata, yang paling tak bisa dihindari
dalam hidup. Selama jutaan tahun, dinosaurus menjadi penguasa dunia, dan mereka
pun lenyap, karena alam menghancurkan mereka. Manusia pun juga pasti akan
mengalami nasib yang sama, mungkin dengan sebab yang berbeda, namun pasti nasib
yang sama pula. Apakah ada solusi? Harapan memang
selalu ada. Namun, kita butuh perubahan besar, yakni perubahan yang mendasar:
perubahan cara berpikir dan perubahan cara hidup. Untuk ini, saya rasa, kita
bisa belajar dari tradisi pemikiran fenomenologi yang dirumuskan oleh Edmund
Husserl, terutama dalam bukunya yang berjudul Die Krisis der europäischen Wissenschaften und
die transzendentale Phänomenologie: eine Einleitung in die phänomenologische
Philosophie.
Menurut Husserl, seluruh
peradaban Eropa berpijak pada satu konsep dasar yang amat penting, yakni Logos.
Dalam arti ini, Logos memiliki
makna yang amat luas. Ia bisa berarti sekaligus akal budi, roh, ide, dan bahkan
Tuhan. Logos memiliki dimensi yang sekaligus
rasional dan empiris (berpijak pada kenyataan hidup sehari-hari) maupun mistik
serta misterius (tak terjangkau oleh akal budi kita). Segala krisis yang kita
alami di berbagai belahan dunia hari ini lahir dari kegagalan kita memahami
makna Logos,
dan menerapkannya dalam kehidupan. Logos adalah inti dari filsafat,
sebagaimana dikembangkan di Yunani Kuno, dan filsafat adalah asal muasal dari
semua ilmu pengetahuan yang ada di dunia. Bahkan, agama-agama Samawi, seperti
Kristen, Yahudi, dan Islam, juga amat dipengaruhi oleh pemikiran filosofis
semacam ini. Namun, orang kini menyempitkan Logos semata
pada akal budi, dan akal budi semata disempitkan menjadi teknik untuk menguasai
alam (teknologi), demi kepentingan manusia.
Ketika alam dikuasai, maka ia
akan rusak. Dan ketika alam rusak, manusia pun akan juga hancur. Perubahan cara
berpikir dari logos sebagai
upaya untuk memahami alam (verstehen und
kennen) menjadi penguasaan (beherrschen)
atas alam adalah akar dari semua kerusakan yang terjadi di dunia dewasa ini.
Alam dipakai, dan tak lama kemudian, manusia lain pun dikuasai dan dipakai,
seperti layaknya barang mati.
Penyempitan atas Logos inilah yang menandai era kita
sekarang. Dampaknya mulai dari fundamentalisme agama (mengurung Logos ke dalam konsep-konsep religius yang
sempit) maupun fundamentalisme ekonomi (mengurung logos semata pada kesempatan untuk
memperoleh lebih banyak uang). Solusinya lalu, mengembalikan logos ke tempatnya semula, sebagai upaya
sadar manusia untuk memahami alam dalam segala kemegahan maupun
kemisteriusannya, yakni menjadi upaya untuk bisa hidup-bersama-dengan-alam. (mit der Natur umgehen). Ilmu pengetahuan, kultur, dan
agama adalah bentuk-bentuk ekspresi (Ausdrücke)
dariLogos. Dan segala bentuk ekspresi
manusia selalu berpijak pada sungai sejarah yang terbatas oleh waktu dan
tempat. Maka, ia tak pernah mutlak, melainkan selalu bergerak, juga dalam
sungai sejarah. Pemutlakan atas ekspresi dari Logos (dalam
bentuk agama, ilmu, atau kultur) adalah kesalahan berpikir yang parah, yang
menggiring kita pada segala bentuk perang maupun pengrusakan alam sekarang ini. Bagaimana memahami Logos dalam bentuk aslinya, yang
mencerahkan, yang tidak dipersempit semata menjadi teknik, ataupun agama,
ataupun kultur? Ada lima ciri.
Yang pertama, Logos itu bersifat kritis, baik pada alam,
maupun pada dirinya sendiri. Logosmempertanyakan segala sesuatu, berusaha
mencari jawab, namun tak akan pernah berhenti pada titik mutlak. Dengan kata
lain, Logos selalu berbentuk otokritik (kritik
diri).
Yang kedua, karena selalu bergerak, Logos juga selalu menghasilkan krisis (Krise). Bisa juga dikatakan, krisis (krisis
ekonomi, krisis kebudayaan, dan berbagai krisis lainnya) adalah anak kandung
dari Logos.
Namun, krisis jangan dilihat sebagai kehancuran segalanya, melainkan sebagai
peluang untuk berpikir ulang, guna menciptakan kemajuan berikutnya. Krisis,
dengan kata lain, adalah kesempatan untuk berkembang.
Yang ketiga, Logos selalu terarah pada keseluruhan
kenyataan, dan bukan hanya bagian-bagiannya (agama, kultur, negara, atau
keluarga). Ketika Logos mengarah
pada kenyataan sebagai keseluruhan, dan manusia sungguh menghayatinya, maka ia
akan sampai pada kebijaksanaan, yang merupakan tujuan tertinggi semua bentuk
pendidikan. Di masa Yunani Kuno, di tangan Aristoteles, Logos selalu berarti upaya tanpa henti
(rasional maupun melampaui-rasionalitas) untuk menggapai Sophia, yakni kebijaksanaan.
Yang keempat, Logos, menurut Husserl, juga selalu
berarti dia-logos,
yakni proses dua arah, proses diskusi, proses interaksi dan komunikasi dengan
dunia. Dunia (Welt), menurut Husserl,
adalah rumah bagi setiap pengalaman manusia. Maka, segala bentuk pemikiran
manusia harus dikembalikan dan diuji kepada dunia (bukan data statistik yang
seringkali menipu). Dunia adalah tolok ukur bagi kebenaran manusia, dan karena
dunia terus berubah, maka tolok ukur kita pun akan terus berubah.
Yang kelima, Logos akan menyediakan arah bagi hidup
manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai kesatuan spesies, asal kita mau
mendengarnya, memahaminya, dan menghayatinya dalam hidup. Logos adalah tanda dari upaya manusia untuk
terus berusaha memahami apa yang tak pernah seluruhnya bisa terpahami. Ia
menyediakan arah (Orientierung) sekaligus
cara untuk hidup. Ia menyediakan horison untuk pemahaman kita akan “dunia” (Welt) dan bagaimana hidup bersama dengannya (umgehen).
Bunuh diri sosial adalah tindakan
manusia yang setiap detik terjadi. Selalu ada harapan untuk memperlambatnya,
selama kita mampu melakukan perubahan cara berpikir secara mendasar dan massal
(ke seluruh dunia), serta kembali menghayati Logos dalam
hidup kita. Obat baru, teknologi baru, agama baru, ataupun “tuhan” yang baru
tak akan pernah bisa menyelamatkan kita sebagai manusia, selama pemahaman kita
tak bersentuhan langsung dengan Logos yang
sejati, selama Logos tak
menjadi cara hidup (Modus unseres Lebens)
dan cara berpikir kita (Modus unseres Denkens).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar