Kita hidup dalam dunia yang selalu tidak cukup. Banyak hal
muncul dalam bentuk yang kurang, dari yang kita harapkan. Gaji yang tak pernah
cukup mencukupi kebutuhan hidup. Waktu yang selalu tidak cukup untuk keluarga,
atau orang-orang yang kita cintai. Jacques Lacan, filsuf dan
psikoanalis asal Prancis, pernah mengisi sebuah acara TV di Prancis. Ia bilang,
“kata orang, kita harus berbicara benar. Atau, kita harus
mengatakan kebenaran.
Akan tetapi, itu tidak mungkin. Bahasa kita tidak cukup untuk mengatakan
kebenaran. Bahasa kita terlalu miskin untuk menyatakan kebenaran.” Lacan punya pendapat yang sangat
kuat tentang ini. Ketika kita berkata, bahasa langsung mengurung maksud kita ke
dalam kata dan grammar. Ada jarak yang cukup besar antara kata yang terucap dan
maksud di dalam hati. Kata-kata dan bahasa kita tidak cukup untuk mengungkapkan
apa yang ingin kita ungkapkan.
Di dalam bukunya yang berjudul Der
Ego-Tunnel, Thomas Metzinger, filsuf dan ilmuwan neurosains asal Jerman,
menulis, bahwa apa yang kita tangkap dengan pikiran kita hanyalah sebagian
kecil dari kekayaan realitas yang ada. Dengan kata lain, pikiran kita tidak
cukup untuk menangkap keluasan kenyataan yang ada. Kenyataan atau realitas yang
sesungguhnya jauh lebih kaya daripada apa yang bisa kita tangkap dan pahami
dengan pikiran kita. Kita bertindak berdasarkan
maksud, berdasarkan harapan. Akan tetapi, tindakan kita tidak pernah cukup
mewujudkan harapan kita. Seorang ayah amat mencintai anaknya. Namun,
tindakannya tidak akan pernah cukup menggambarkan cintanya pada anaknya. Ada
jarak antara apa yang kita rasakan sesungguhnya, dan tindakan yang kita lakukan
untuk menampilkan perasaan tersebut.
Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia,
pernah menjadi salah satu pembicara seminar di AS. Setelah dibacakan riwayat
hidupnya yang panjang dan penuh dengan karya-karya besar, ia berkata, “Siapa
itu? Saya tidak kenal orang itu.” Ia menegaskan, bahwa riwayat hidup seseorang
tidak pernah cukup untuk menggambarkan jati diri seseorang. Identitas, apalagi
identitas legal formal, tidak pernah cukup menggambarkan kekayaan sekaligus
keunikan diri seseorang. Ketika kita berusaha memahami
sesuatu, kita menggunakan konsep. Kita menggunakan konsep, tidak hanya di dalam
ilmu pengetahuan atau filsafat, tetapi juga di dalam kehidupan kita
sehari-hari. Namun, setiap konsep atau teori tidak akan pernah bisa menangkap
kekayaan kenyataan yang ada. Konsep atau teori (rumusan ilmiah) tidak pernah
cukup untuk menangkap apa yang sesungguhnya terjadi.
Misalnya, banyak indikator
perkembangan statistik Indonesia menunjukkan, bahwa ekonomi kita berkembang.
Namun, statistik dan indikator tersebut hanyalah rumusan yang tentu saja tidak
akan pernah mampu menangkap kenyataan yang ada, yang sebenarnya penuh dengan
kemiskinan, penderitaan, dan kesenjangan sosial yang amat besar antara si kaya
dan si miskin di Indonesia. Sekali lagi, rumusan, konsep, teori, dan data tidak
akan pernah cukup menggambarkan kenyataan yang ada. Seorang siswa mendapatkan nilai
rendah dalam ujiannya. Padahal, ia telah belajar dengan keras. Nilai-nilai
sebelumnya juga baik. Hanya saja, ketika ujian akhir datang, ia merasa gugup,
dan tak mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan dengan tenang. Akhirnya,
nilainya rendah. Ia pun gagal dalam ujian akhirnya.
Hasil ujian tidak pernah bisa
menangkap usaha belajar seseorang. Nilai tidak pernah cukup menandakan kerja
keras seorang murid. Inilah yang harus disadari oleh semua pendidik di
Indonesia. Proses belajar, yang merupakan proses yang berkelanjutan dan
dinamis, tidak akan pernah bisa dipahami hanya dengan melihat nilai. Kenyataan hidup juga tidak akan
pernah cukup untuk mewujudkan seluruh harapan kita. Harapan adalah gambaran
ideal tentang kenyataan. Walaupun pikiran dan bahasa kita tidak akan pernah
bisa menangkap kekayaan kenyataan yang ada, kenyataan itu sendiri pun masih
terlalu sempit untuk harapan manusiawi kita. Harapan selalu lebih luas dari
kenyataan.
Setiap hari, kita membuat janji.
Kita, tentu, berusaha menepatinya. Namun, tidak pernah kita 100 persen bisa
menepati janji kita. Tindakan menepati janji selalu tidak cukup untuk
mewujudkan janji itu sendiri, walaupun segala upaya telah dilakukan. Pada akhirnya, kita harus belajar
untuk memahami “apa yang tidak cukup” dalam hidup kita. Kita harus
mengembangkan di dalam diri kita “kesadaran akan ketidakcukupan”. Di dalam
hidup yang begitu kaya dan dinamis ini, “kesadaran akan ketidakcukupan” adalah
suatu bentuk kebijaksanaan. Hidup memang selalu kurang. Namun, mungkin saja
bukan hidup yang kurang, melainkan diri kita sendiri, sebagai manusia, yang
juga kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar