-->

Kamis, 20 Juni 2013

Apa Yang "Tidak Cukup"

Kita hidup dalam dunia yang selalu tidak cukup. Banyak hal muncul dalam bentuk yang kurang, dari yang kita harapkan. Gaji yang tak pernah cukup mencukupi kebutuhan hidup. Waktu yang selalu tidak cukup untuk keluarga, atau orang-orang yang kita cintai. Jacques Lacan, filsuf dan psikoanalis asal Prancis, pernah mengisi sebuah acara TV di Prancis. Ia bilang, “kata orang, kita harus berbicara benar. Atau, kita harus
mengatakan kebenaran. Akan tetapi, itu tidak mungkin. Bahasa kita tidak cukup untuk mengatakan kebenaran. Bahasa kita terlalu miskin untuk menyatakan kebenaran.” Lacan punya pendapat yang sangat kuat tentang ini. Ketika kita berkata, bahasa langsung mengurung maksud kita ke dalam kata dan grammar. Ada jarak yang cukup besar antara kata yang terucap dan maksud di dalam hati. Kata-kata dan bahasa kita tidak cukup untuk mengungkapkan apa yang ingin kita ungkapkan.

Di dalam bukunya yang berjudul Der Ego-Tunnel, Thomas Metzinger, filsuf dan ilmuwan neurosains asal Jerman, menulis, bahwa apa yang kita tangkap dengan pikiran kita hanyalah sebagian kecil dari kekayaan realitas yang ada. Dengan kata lain, pikiran kita tidak cukup untuk menangkap keluasan kenyataan yang ada. Kenyataan atau realitas yang sesungguhnya jauh lebih kaya daripada apa yang bisa kita tangkap dan pahami dengan pikiran kita. Kita bertindak berdasarkan maksud, berdasarkan harapan. Akan tetapi, tindakan kita tidak pernah cukup mewujudkan harapan kita. Seorang ayah amat mencintai anaknya. Namun, tindakannya tidak akan pernah cukup menggambarkan cintanya pada anaknya. Ada jarak antara apa yang kita rasakan sesungguhnya, dan tindakan yang kita lakukan untuk menampilkan perasaan tersebut.

Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia, pernah menjadi salah satu pembicara seminar di AS. Setelah dibacakan riwayat hidupnya yang panjang dan penuh dengan karya-karya besar, ia berkata, “Siapa itu? Saya tidak kenal orang itu.” Ia menegaskan, bahwa riwayat hidup seseorang tidak pernah cukup untuk menggambarkan jati diri seseorang. Identitas, apalagi identitas legal formal, tidak pernah cukup menggambarkan kekayaan sekaligus keunikan diri seseorang. Ketika kita berusaha memahami sesuatu, kita menggunakan konsep. Kita menggunakan konsep, tidak hanya di dalam ilmu pengetahuan atau filsafat, tetapi juga di dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun, setiap konsep atau teori tidak akan pernah bisa menangkap kekayaan kenyataan yang ada. Konsep atau teori (rumusan ilmiah) tidak pernah cukup untuk menangkap apa yang sesungguhnya terjadi.

Misalnya, banyak indikator perkembangan statistik Indonesia menunjukkan, bahwa ekonomi kita berkembang. Namun, statistik dan indikator tersebut hanyalah rumusan yang tentu saja tidak akan pernah mampu menangkap kenyataan yang ada, yang sebenarnya penuh dengan kemiskinan, penderitaan, dan kesenjangan sosial yang amat besar antara si kaya dan si miskin di Indonesia. Sekali lagi, rumusan, konsep, teori, dan data tidak akan pernah cukup menggambarkan kenyataan yang ada. Seorang siswa mendapatkan nilai rendah dalam ujiannya. Padahal, ia telah belajar dengan keras. Nilai-nilai sebelumnya juga baik. Hanya saja, ketika ujian akhir datang, ia merasa gugup, dan tak mampu mengerjakan soal-soal yang diberikan dengan tenang. Akhirnya, nilainya rendah. Ia pun gagal dalam ujian akhirnya.

Hasil ujian tidak pernah bisa menangkap usaha belajar seseorang. Nilai tidak pernah cukup menandakan kerja keras seorang murid. Inilah yang harus disadari oleh semua pendidik di Indonesia. Proses belajar, yang merupakan proses yang berkelanjutan dan dinamis, tidak akan pernah bisa dipahami hanya dengan melihat nilai. Kenyataan hidup juga tidak akan pernah cukup untuk mewujudkan seluruh harapan kita. Harapan adalah gambaran ideal tentang kenyataan. Walaupun pikiran dan bahasa kita tidak akan pernah bisa menangkap kekayaan kenyataan yang ada, kenyataan itu sendiri pun masih terlalu sempit untuk harapan manusiawi kita. Harapan selalu lebih luas dari kenyataan.

Setiap hari, kita membuat janji. Kita, tentu, berusaha menepatinya. Namun, tidak pernah kita 100 persen bisa menepati janji kita. Tindakan menepati janji selalu tidak cukup untuk mewujudkan janji itu sendiri, walaupun segala upaya telah dilakukan. Pada akhirnya, kita harus belajar untuk memahami “apa yang tidak cukup” dalam hidup kita. Kita harus mengembangkan di dalam diri kita “kesadaran akan ketidakcukupan”. Di dalam hidup yang begitu kaya dan dinamis ini, “kesadaran akan ketidakcukupan” adalah suatu bentuk kebijaksanaan. Hidup memang selalu kurang. Namun, mungkin saja bukan hidup yang kurang, melainkan diri kita sendiri, sebagai manusia, yang juga kurang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar