Krisis akal sehat bagaikan kanker yang menggerogoti sendi-sendi
kehidupan bangsa kita sekarang ini. Di berbagai bidang, kita bisa langsung
menemukan beragam keputusan-keputusan konyol yang, sayangnya, dapat
mempengaruhi kehidupan ratusan ribu orang. Politik yang digerogoti korupsi,
karena para pejabatnya kehilangan akal sehat mereka, dan hanyut di dalam
terkaman uang maupun kuasa sesaat. Produk Undang-undang, yang nantinya
menentukan hidup begitu banyak orang, lahir dari kedangkalan berpikir,
prasangka
kultural yang begitu jelek, serta ketidakmampuan membedakan urusan
publik dan urusan pribadi. Bidang pendidikan, yang merupakan
kunci kemajuan bangsa, terperosok kembali menjadi proses penghasil robot yang
tak berpikir, dan pandai memuntahkan pendapat orang lain. Akibatnya, tingkat
kemampuan sumber daya manusia secara umum nyaris tak mampu bersaing di tingkat
global. Ketika ini terjadi, bangsa kita akan terjebak menjadi pemakai ulung
dari hasil pikiran maupun produk bangsa lain, serta tak mampu menjadi pencipta
ide ataupun barang yang bisa membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.
Hasilnya, kita akan semakin miskin, dan dengan kemiskinan, beragam masalah
sosial lainnya, seperti kriminalitas dan konflik sosial, pun akan bertumbuh
dengan subur.
Akar dari semua masalah ini, pada
hemat saya, adalah krisis akal sehat yang membuat kita tak lagi mampu berpikir
jernih, serta semakin hanyut di dalam ketakutan serta kebodohan setiap harinya.
Akal sehat kita dirampas oleh situasi, dan membuatnya tumpul, bahkan mungkin
lenyap. Ketika akal sehat hilang, maka krisis-krisis lainnya pun tampil di
depan mata, mulai dari krisis ekonomi, krisis moral politik, sampai dengan
krisis kepribadian. Hidup bersama maupun hidup pribadi pun akan selalu berada
di ambang kehancuran.
Para Perampas
Saya setidaknya melihat empat
musuh akal sehat. Saya menyebutnya sebagai “para perampas akal sehat”. Yang
pertama adalah pendapat umum. Seringkali, pendapat umum itu mengaburkan kita
dari kenyataan, dan memasung kemampuan kita untuk berpikir mandiri. Pendapat
umum itu seringkali tertuang dalam kata berikut: “katanya?”, “kata orang..”,
atau “banyak orang bilang…”. Ketika orang tak mampu mengambil jarak dari
pendapat umum, maka ia akan terjebak pada “apa kata orang”, dan kehilangan
kemampuan untuk menggunakan akal sehatnya secara kritis dan mandiri. Setiap orang di dalam hidupnya
memiliki pengalaman traumatik. Masa lalunya terus datang dan menerkam
kesadarannya. Akibatnya, ia terus hidup dalam rasa cemas dan takut akan masa
depan yang belum datang. Pengalaman masa lalu membuat kita takut untuk mencoba
sesuatu yang baru di masa kini dan masa datang, karena kita dihantui kegagalan
yang pernah terjadi di masa lalu. Pengalaman kegagalan itu menjadi trauma,
menerkam akal sehat kita, dan menyiksa kita dengan rasa takut serta cemas
setiap harinya.
Tradisi juga seringkali menjadi
perampas akal sehat kita sebagai manusia. Tradisi mengungkung cara berpikir seseorang,
sehingga ia tak mampu berpikir di luar tradisi. Tradisi berkembang dalam
pengandaian, bahwa dunia ini tetap, maka ada cara-cara universal yang bisa
digunakan untuk menata dunia. Namun, pengandaian ini jelas salah, karena dunia
terus berubah, dan tradisi tak selamanya benar. Pemujaan mutlak pada tradisi
merampas akal sehat kita, dan menggiring kita pada beragam krisis yang lahir
dari kesempitan berpikir. Akal sehat kita juga sering
dirampas oleh prasangka, terutama prasangka kultural terhadap orang lain atau
hal lain yang lahir dari kultur yang berbeda dengan kultur kita. Misalnya,
semua orang Ambon itu preman (saya orang Ambon, jadi saya sedang mencela diri
saya sendiri), atau semua orang Jawa itu munafik (saya juga keturunan Jawa,
jadi saya juga sedang mencela diri saya sendiri). Prasangka berkembang menjadi
generalisasi yang tampil dalam kata “semua”. Prasangka ini merampas akal sehat
kita di dalam hubungan dengan orang yang berasal dari kultur lain.
Menjemput Akal Sehat
Keempat musuh akal sehat ini akan
menggiring kita pada setidaknya tiga hal jelek. Yang pertama, kita akan terus
hidup dalam kecemasan serta ketakutan, dan tak mampu melangkah untuk mengambil
keputusan-keputusan penting dan berani dalam hidup kita. Kita akan diterkam dan
dijajah oleh tradisi, pengalaman masa lalu, apa kata orang, dan prasangka yang
tak pernah kita kaji lebih jauh. Ketika orang terus diterkam kecemasan dan
ketakutan, maka ia hidup dalam penderitaan, walaupun penderitaan itu seringkali
tersembunyi dari mata masyarakat. Kita juga akan hidup dalam
kesalahan berpikir yang akut, karena akal sehat kita sudah lenyap. Kesalahan
berpikir menghasilkan kesalahan analisis, dan akan menggiring kita pada
kesalahan bertindak dan kesalahan pengambilan keputusan. Ini semua tentunya akan
membawa kita pada beragam krisis yang tidak saja menyiksa kita, tetapi juga
menyiksa orang lain, terutama jika keputusan dan tindakan kita memiliki dampak
luas, seperti misalnya tindakan dan keputusan seorang pejabat publik atau
pemimpin perusahaan. Keempat perampas akal sehat ini tentu saja tak bisa
didiamkan, melainkan harus dilampaui. Bagaimana caranya?
Tentu saja, kita perlu menyadari
keberadaan para perampas akal sehat ini di dalam pikiran kita. Jika kita sudah
sadar, maka kita bisa mengambil jarak dan menimbang, apakah akan terus
mengikuti mereka, atau justru bertindak sebaliknya. Kemampuan mengambil jarak
dan menimbang ini amatlah penting, supaya kita tetap bisa menggunakan akal
sehat di dalam hidup sehari-hari kita. Apalah artinya menjadi manusia, ketika
kita tak lagi mampu berpikir dan bertindak dengan menggunakan akal sehat kita?
Masalahnya kemudian adalah, apakah kita berani menggunakan akal sehat, dan
mempertanyakan “pendapat umum”, tradisi, pengalaman masa lalu kita pribadi,
serta prasangka yang berkecamuk di dalam pikiran kita? Atau, apakah kita
pengecut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar