-->

Kamis, 20 Juni 2013

Para Perampas Akal Sehat

Krisis akal sehat bagaikan kanker yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa kita sekarang ini. Di berbagai bidang, kita bisa langsung menemukan beragam keputusan-keputusan konyol yang, sayangnya, dapat mempengaruhi kehidupan ratusan ribu orang. Politik yang digerogoti korupsi, karena para pejabatnya kehilangan akal sehat mereka, dan hanyut di dalam terkaman uang maupun kuasa sesaat. Produk Undang-undang, yang nantinya menentukan hidup begitu banyak orang, lahir dari kedangkalan berpikir, prasangka
kultural yang begitu jelek, serta ketidakmampuan membedakan urusan publik dan urusan pribadi. Bidang pendidikan, yang merupakan kunci kemajuan bangsa, terperosok kembali menjadi proses penghasil robot yang tak berpikir, dan pandai memuntahkan pendapat orang lain. Akibatnya, tingkat kemampuan sumber daya manusia secara umum nyaris tak mampu bersaing di tingkat global. Ketika ini terjadi, bangsa kita akan terjebak menjadi pemakai ulung dari hasil pikiran maupun produk bangsa lain, serta tak mampu menjadi pencipta ide ataupun barang yang bisa membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Hasilnya, kita akan semakin miskin, dan dengan kemiskinan, beragam masalah sosial lainnya, seperti kriminalitas dan konflik sosial, pun akan bertumbuh dengan subur.

Akar dari semua masalah ini, pada hemat saya, adalah krisis akal sehat yang membuat kita tak lagi mampu berpikir jernih, serta semakin hanyut di dalam ketakutan serta kebodohan setiap harinya. Akal sehat kita dirampas oleh situasi, dan membuatnya tumpul, bahkan mungkin lenyap. Ketika akal sehat hilang, maka krisis-krisis lainnya pun tampil di depan mata, mulai dari krisis ekonomi, krisis moral politik, sampai dengan krisis kepribadian. Hidup bersama maupun hidup pribadi pun akan selalu berada di ambang kehancuran.

Para Perampas
Saya setidaknya melihat empat musuh akal sehat. Saya menyebutnya sebagai “para perampas akal sehat”. Yang pertama adalah pendapat umum. Seringkali, pendapat umum itu mengaburkan kita dari kenyataan, dan memasung kemampuan kita untuk berpikir mandiri. Pendapat umum itu seringkali tertuang dalam kata berikut: “katanya?”, “kata orang..”, atau “banyak orang bilang…”. Ketika orang tak mampu mengambil jarak dari pendapat umum, maka ia akan terjebak pada “apa kata orang”, dan kehilangan kemampuan untuk menggunakan akal sehatnya secara kritis dan mandiri. Setiap orang di dalam hidupnya memiliki pengalaman traumatik. Masa lalunya terus datang dan menerkam kesadarannya. Akibatnya, ia terus hidup dalam rasa cemas dan takut akan masa depan yang belum datang. Pengalaman masa lalu membuat kita takut untuk mencoba sesuatu yang baru di masa kini dan masa datang, karena kita dihantui kegagalan yang pernah terjadi di masa lalu. Pengalaman kegagalan itu menjadi trauma, menerkam akal sehat kita, dan menyiksa kita dengan rasa takut serta cemas setiap harinya.

Tradisi juga seringkali menjadi perampas akal sehat kita sebagai manusia. Tradisi mengungkung cara berpikir seseorang, sehingga ia tak mampu berpikir di luar tradisi. Tradisi berkembang dalam pengandaian, bahwa dunia ini tetap, maka ada cara-cara universal yang bisa digunakan untuk menata dunia. Namun, pengandaian ini jelas salah, karena dunia terus berubah, dan tradisi tak selamanya benar. Pemujaan mutlak pada tradisi merampas akal sehat kita, dan menggiring kita pada beragam krisis yang lahir dari kesempitan berpikir. Akal sehat kita juga sering dirampas oleh prasangka, terutama prasangka kultural terhadap orang lain atau hal lain yang lahir dari kultur yang berbeda dengan kultur kita. Misalnya, semua orang Ambon itu preman (saya orang Ambon, jadi saya sedang mencela diri saya sendiri), atau semua orang Jawa itu munafik (saya juga keturunan Jawa, jadi saya juga sedang mencela diri saya sendiri). Prasangka berkembang menjadi generalisasi yang tampil dalam kata “semua”. Prasangka ini merampas akal sehat kita di dalam hubungan dengan orang yang berasal dari kultur lain.

Menjemput Akal Sehat
Keempat musuh akal sehat ini akan menggiring kita pada setidaknya tiga hal jelek. Yang pertama, kita akan terus hidup dalam kecemasan serta ketakutan, dan tak mampu melangkah untuk mengambil keputusan-keputusan penting dan berani dalam hidup kita. Kita akan diterkam dan dijajah oleh tradisi, pengalaman masa lalu, apa kata orang, dan prasangka yang tak pernah kita kaji lebih jauh. Ketika orang terus diterkam kecemasan dan ketakutan, maka ia hidup dalam penderitaan, walaupun penderitaan itu seringkali tersembunyi dari mata masyarakat. Kita juga akan hidup dalam kesalahan berpikir yang akut, karena akal sehat kita sudah lenyap. Kesalahan berpikir menghasilkan kesalahan analisis, dan akan menggiring kita pada kesalahan bertindak dan kesalahan pengambilan keputusan. Ini semua tentunya akan membawa kita pada beragam krisis yang tidak saja menyiksa kita, tetapi juga menyiksa orang lain, terutama jika keputusan dan tindakan kita memiliki dampak luas, seperti misalnya tindakan dan keputusan seorang pejabat publik atau pemimpin perusahaan. Keempat perampas akal sehat ini tentu saja tak bisa didiamkan, melainkan harus dilampaui. Bagaimana caranya?

Tentu saja, kita perlu menyadari keberadaan para perampas akal sehat ini di dalam pikiran kita. Jika kita sudah sadar, maka kita bisa mengambil jarak dan menimbang, apakah akan terus mengikuti mereka, atau justru bertindak sebaliknya. Kemampuan mengambil jarak dan menimbang ini amatlah penting, supaya kita tetap bisa menggunakan akal sehat di dalam hidup sehari-hari kita. Apalah artinya menjadi manusia, ketika kita tak lagi mampu berpikir dan bertindak dengan menggunakan akal sehat kita? Masalahnya kemudian adalah, apakah kita berani menggunakan akal sehat, dan mempertanyakan “pendapat umum”, tradisi, pengalaman masa lalu kita pribadi, serta prasangka yang berkecamuk di dalam pikiran kita? Atau, apakah kita pengecut?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar