-->

Jumat, 01 Maret 2013

Anehnya Slogan Kota


Penganugerahan penghargaan Adipura tahun 2010 tanggal 8 Juni yang lalu mengingatkan tulisan F Rahardi sebagai sindiran (Suara Pembaruan: 9/3/2001). Ia mengaku sempat bingung oleh gerbang megah di setiap perbatasan kota lengkap dengan tulisan slogan masing-masing.
Rahardi mencontohkan, gerbang di Kota Tegal bertuliskan, “Selamat Datang di Tegal Kota Bahari.”
Menimbulkan pertanyaan, ini kota bernama Tegal apa Bahari? Di Purwokerto lebih aneh lagi, “Selamat Datang di Kota Adipura.” Ternyata Wonosobo juga kota Adipura, Temanggung juga kota Adipura. Banyak sekali kota di Jawa bernama Adipura?
Pada tahun 2010 ini tidak kurang dari 140 kabupaten/kota meraih penghargaan bergengsi di bidang kebersihan, Adipura. Dengan rincian, sembilan kategori kota metropolitan, empat kota besar, 41 kota sedang dan 86 kota kecil. Di Jawa Tengah sedikitnya 13 kota meraih Adipura. Dari segi kuantitas secara nasional mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Di balik itu masih menyisakan sederet pertanyaan. Mulai dari soal teknis sampai hal yang substantif. Parameter penghargaan Adipura sendiri masih menimbulkan kontroversi. Daerah yang dinilai tidak layak menerima Adipura, ternyata menerimanya. Siapa yang selayaknya menerimanya juga masih menjadi perdebatan, apakah perorangan atau kelompok? Selama ini Adipura diberikan dengan atas nama pemerintah daerah. Dengan basa-basi kepala daerah mengaku berserta rakyat.
Berupa akronim
Terlepas dari kontroversi seputar penganugerahan penghargaan Adipura, terdapat sisi yang menarik, yaitu tentang slogan di setiap kota/kabupaten. Slogan-slogan itu biasanya berupa akronim. Maklum, penghargaan adipura pertama kali dicanangkan oleh presiden Soeharto, tahun 1986, dimana akronim banyak lahir pasa masa Orde Baru.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akronim adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. Tentang slogan terkait Adipura yang umumnya berupa akronim hampir semua kota dan kabupaten memiliki. Dengan gaya popular, pilihan kata menarik, dan tentu mudah dihafal atau diingat.
Sebenarnya, bukan hanya Orde Baru, setiap rezim di Indonesia gemar bikin akronim atau singkatan, sebagai slogan maupun nama suatu program. Pada masa presiden Soekarno terkenal istilah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Pada masa Orde Baru paling terkenal adalah ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), dan Klompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa).
Sedangkan pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lebih suka menggunakan singkatan dan yang disingkat adalah nama orang. Seperti, SBY singkatan dari nama presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri. Menjelang kongres Partai Demokrat beredar singkatan dari nama para kandidat ketua umum. Ada AM (Andi Malarangeng), AU (Anas Urbaningrum), dan MA (Marzuki Alie). Begitu pula para kandidat kepala daerah ramai-ramai menggunakan singkatan.
Ternyata, soal singkat-menyingkat bukan sebatas untuk menyingkat kalimat. Segala sesuatu maunya disingkat, tak terkecuali soal pekerjaan, memakai jalan pintas. Model akronim dan singkatan dari rezim demi rezim adalah simbol karakter bangsa yang suka jalan pintas. Korupsi yang kian menjadi-jadi indikasi nyata bangsa yang suka serba instan.
Ciri khas daerah
Beberapa kota/kabupaten, telah memiliki julukan sesuai ciri khas daerah masing-masing. Misalkan, Cirebon kota udang karena penghasil udang. Brebes kota bawang, karena sentra penghasil bawang merah yang terkenal. Bogor kota hujan, karena curah hujan yang tinggi akibat pengaruh kondisi alam yang relatif masih hijau oleh hutan dan kebun raya di tengah kota. Yogyakarta kota pendidikan dan kota budaya. Bandung kota kembang, dan masih banyak lagi.
Anehnya, slogan kota tidak kalah popular dibanding julukan kota atau daerah yang telah tertanam secara alamiah sejak lama. Di Jawah Tengah dari bagian pantai utara Jawa (pantura); Brebes Berhias (bersih, rapi, hijau, indah, aman dan sehat,). Tegal Bahari (Bersih, aman, hijau, asri, rapi, dan indah). Pemalang Ikhlas (indah, komunikaif, hijau, aman, sehat). Pekalongan Batik ( bersih, aman, tertib, indah, dan komunikatif). Semarang Atlas (aman, tertib, lancar, aman, dan sehat). Lebih menarik lagi Kudus Semarak (sehat, maju, rapi, aman, dan konstitusional).
Di bagian selatan; Cilacap Bercahaya (bersih, elok, rapi, ceria, hijau, aman, dan jaya). Kebumen Beriman (bersih, indah, manfaat, aman, dan nyaman). Wonosobo Asri (aman, sehat, rapi,dan indah). Purworejo Berirama (bersih, indah, aman, dan makmur). Itu baru sebagian di Jawa Tengah, belum di provinsi lain.
Membaca slogan-slogan tersebut ada yang sesuai dengan kondisi atau kesejarahan daerahnya, tetapi banyak yang tidak sesuai dan terkesan asal membentuk akronim. Kalau Pekalongan berslogan Batik, sesuai sebagai sentra pengrajin batik. Tegal Bahari, sesuai dengan sejarah kebaharian di Tegal. Lain halnya Semarang Atlas, apakah Semarang memiliki sejarah pembuatan atlas. Purworejo Berirama, apakah penuh nyanyian atau musik. Sedangkan Kudus Semarak, padahal telah dikenal sebagai kota kretek karena penghasil rokok.
Keganjilan lebih substantif, rata-rata daerah mempersiapkan diri memperebutkan Adipura dengan cara “kejar tayang.” Kebiasaan ketika akan dilangsungkan kunjungan pejabat, pemerintah setempat mendadak sibuk berbenah. Cara itu berdampak pada penggunaan dana APBD yang difokuskan untuk pembenahan lingkungan dan menekan pembangunan sektor lain hanya demi ambisi meraih Adipura.
Semua itu didasarkan keinginan sang kepala daerah guna membangun citra dirinya. Kalau di masa Orde Baru yang berlaku membangun citra ke atas, asal bapak senang (ABS). Bupati atau walikota gigih merebut Adipura guna mendapatkan apresiasi dari atasan, gubernur atau presiden. Kini, di era demokrasi, kepala daerah dipilih langsung, Adipura dijadikan alat legitimasi di mata rakyat.
Maka, tidak heran kalau ada daerah berganti-ganti slogan sesuai kehendak pemimpinnya. Padahal, secara nasional sudah memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Bahkan lebih popular slogan para para kandidat kepala daerah karena rajin beriklan di media massa. Sehingga, negara ini tidak kunjung menunjukakan progresifitas, terlalu lama terbenam dalam krisis akibat pembangunan tidak holistik dan berkesinambungan.
Terlepas dari segala keanehannya, Adipura dipercaya masih menyisakan manfaat. Walaupun hanya sebatas aspek kebersihan lingkungan kota dari sampah. Terbukti setelah sejak tahun 1998 vakum karena kondisi politik nasional tidak memungkinkan, mulai 2005 dilaksanakan kembali. Akan tetapi aneh dan lucunya slogan kota mencerminkan bagaimana pola pikir bangsa ini dalam membangun negara-bangsa. Apakah termasuk dalam teori kelirumologinya Jaya Suprana, atau salah kaprah?(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar