Penganugerahan penghargaan Adipura tahun 2010 tanggal 8 Juni yang
lalu mengingatkan tulisan F Rahardi sebagai sindiran (Suara Pembaruan:
9/3/2001). Ia mengaku sempat bingung oleh gerbang megah di setiap perbatasan
kota lengkap dengan tulisan slogan masing-masing.
Rahardi mencontohkan, gerbang di Kota Tegal bertuliskan, “Selamat
Datang di Tegal Kota Bahari.”
Menimbulkan pertanyaan, ini kota bernama Tegal
apa Bahari? Di Purwokerto lebih aneh lagi, “Selamat Datang di Kota Adipura.”
Ternyata Wonosobo juga kota Adipura, Temanggung juga kota Adipura. Banyak
sekali kota di Jawa bernama Adipura?
Pada tahun 2010 ini tidak kurang dari 140 kabupaten/kota meraih
penghargaan bergengsi di bidang kebersihan, Adipura. Dengan rincian, sembilan
kategori kota metropolitan, empat kota besar, 41 kota sedang dan 86 kota kecil.
Di Jawa Tengah sedikitnya 13 kota meraih Adipura. Dari segi kuantitas secara
nasional mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Di balik itu masih menyisakan sederet pertanyaan. Mulai dari soal
teknis sampai hal yang substantif. Parameter penghargaan Adipura sendiri masih
menimbulkan kontroversi. Daerah yang dinilai tidak layak menerima Adipura,
ternyata menerimanya. Siapa yang selayaknya menerimanya juga masih menjadi
perdebatan, apakah perorangan atau kelompok? Selama ini Adipura diberikan
dengan atas nama pemerintah daerah. Dengan basa-basi kepala daerah mengaku
berserta rakyat.
Berupa akronim
Terlepas dari kontroversi seputar penganugerahan penghargaan
Adipura, terdapat sisi yang menarik, yaitu tentang slogan di setiap
kota/kabupaten. Slogan-slogan itu biasanya berupa akronim. Maklum, penghargaan
adipura pertama kali dicanangkan oleh presiden Soeharto, tahun 1986, dimana
akronim banyak lahir pasa masa Orde Baru.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akronim adalah kependekan
yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan
dilafalkan sebagai kata yang wajar. Tentang slogan terkait Adipura yang umumnya
berupa akronim hampir semua kota dan kabupaten memiliki. Dengan gaya popular,
pilihan kata menarik, dan tentu mudah dihafal atau diingat.
Sebenarnya, bukan hanya Orde Baru, setiap rezim di Indonesia gemar
bikin akronim atau singkatan, sebagai slogan maupun nama suatu program. Pada
masa presiden Soekarno terkenal istilah Nasakom (Nasionalis, Agama, dan
Komunis). Pada masa Orde Baru paling terkenal adalah ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia), dan Klompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan
Pemirsa).
Sedangkan pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, lebih suka menggunakan singkatan dan yang disingkat adalah nama orang.
Seperti, SBY singkatan dari nama presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri.
Menjelang kongres Partai Demokrat beredar singkatan dari nama para kandidat
ketua umum. Ada AM (Andi Malarangeng), AU (Anas Urbaningrum), dan MA (Marzuki
Alie). Begitu pula para kandidat kepala daerah ramai-ramai menggunakan
singkatan.
Ternyata, soal singkat-menyingkat bukan sebatas untuk menyingkat
kalimat. Segala sesuatu maunya disingkat, tak terkecuali soal pekerjaan,
memakai jalan pintas. Model akronim dan singkatan dari rezim demi rezim adalah
simbol karakter bangsa yang suka jalan pintas. Korupsi yang kian menjadi-jadi
indikasi nyata bangsa yang suka serba instan.
Ciri khas daerah
Beberapa kota/kabupaten, telah memiliki julukan sesuai ciri khas
daerah masing-masing. Misalkan, Cirebon kota udang karena penghasil udang.
Brebes kota bawang, karena sentra penghasil bawang merah yang terkenal. Bogor
kota hujan, karena curah hujan yang tinggi akibat pengaruh kondisi alam yang
relatif masih hijau oleh hutan dan kebun raya di tengah kota. Yogyakarta kota
pendidikan dan kota budaya. Bandung kota kembang, dan masih banyak lagi.
Anehnya, slogan kota tidak kalah popular dibanding julukan kota
atau daerah yang telah tertanam secara alamiah sejak lama. Di Jawah Tengah dari
bagian pantai utara Jawa (pantura); Brebes Berhias (bersih, rapi, hijau, indah,
aman dan sehat,). Tegal Bahari (Bersih, aman, hijau, asri, rapi, dan indah).
Pemalang Ikhlas (indah, komunikaif, hijau, aman, sehat). Pekalongan Batik (
bersih, aman, tertib, indah, dan komunikatif). Semarang Atlas (aman, tertib,
lancar, aman, dan sehat). Lebih menarik lagi Kudus Semarak (sehat, maju, rapi,
aman, dan konstitusional).
Di bagian selatan; Cilacap Bercahaya (bersih, elok, rapi, ceria,
hijau, aman, dan jaya). Kebumen Beriman (bersih, indah, manfaat, aman, dan
nyaman). Wonosobo Asri (aman, sehat, rapi,dan indah). Purworejo Berirama
(bersih, indah, aman, dan makmur). Itu baru sebagian di Jawa Tengah, belum di
provinsi lain.
Membaca slogan-slogan tersebut ada yang sesuai dengan kondisi atau
kesejarahan daerahnya, tetapi banyak yang tidak sesuai dan terkesan asal
membentuk akronim. Kalau Pekalongan berslogan Batik, sesuai sebagai sentra
pengrajin batik. Tegal Bahari, sesuai dengan sejarah kebaharian di Tegal. Lain
halnya Semarang Atlas, apakah Semarang memiliki sejarah pembuatan atlas.
Purworejo Berirama, apakah penuh nyanyian atau musik. Sedangkan Kudus Semarak,
padahal telah dikenal sebagai kota kretek karena penghasil rokok.
Keganjilan lebih substantif, rata-rata daerah mempersiapkan diri
memperebutkan Adipura dengan cara “kejar tayang.” Kebiasaan ketika akan
dilangsungkan kunjungan pejabat, pemerintah setempat mendadak sibuk berbenah.
Cara itu berdampak pada penggunaan dana APBD yang difokuskan untuk pembenahan
lingkungan dan menekan pembangunan sektor lain hanya demi ambisi meraih
Adipura.
Semua itu didasarkan keinginan sang kepala daerah guna membangun
citra dirinya. Kalau di masa Orde Baru yang berlaku membangun citra ke atas,
asal bapak senang (ABS). Bupati atau walikota gigih merebut Adipura guna
mendapatkan apresiasi dari atasan, gubernur atau presiden. Kini, di era
demokrasi, kepala daerah dipilih langsung, Adipura dijadikan alat legitimasi di
mata rakyat.
Maka, tidak heran kalau ada daerah berganti-ganti slogan sesuai
kehendak pemimpinnya. Padahal, secara nasional sudah memiliki semboyan Bhineka
Tunggal Ika. Bahkan lebih popular slogan para para kandidat kepala daerah
karena rajin beriklan di media massa. Sehingga, negara ini tidak kunjung
menunjukakan progresifitas, terlalu lama terbenam dalam krisis akibat
pembangunan tidak holistik dan berkesinambungan.
Terlepas dari segala keanehannya, Adipura dipercaya masih
menyisakan manfaat. Walaupun hanya sebatas aspek kebersihan lingkungan kota
dari sampah. Terbukti setelah sejak tahun 1998 vakum karena kondisi politik
nasional tidak memungkinkan, mulai 2005 dilaksanakan kembali. Akan tetapi aneh
dan lucunya slogan kota mencerminkan bagaimana pola pikir bangsa ini dalam
membangun negara-bangsa. Apakah termasuk dalam teori kelirumologinya Jaya
Suprana, atau salah kaprah?(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar