Menurut Hamka, yang mengutip
dari Kitab Hikayat Raja-Raja Pasai (HRRP), pendiri Kerajaan Islam Samudra Pasai
bernama Marah Silu, seorang kepala suku di situ. Pada suatu ketika dia didatangi
seorang pendakwah dari Makkah, Syekh Ismail yang ditemani seorang ahli tasawuf
asal Malabar, India. Ahli tasawuf ini pandai bahasa Melayu dan sudah sering
melakukan perjalanan bolak balik Malabar - Aceh. Saat itu di sepanjang
Pantai Aceh dan Sumatra Timur sudah banyak komunitas yang beragama Islam yang
tinggal di
kota-kota sepanjang pantai.
kota-kota sepanjang pantai.
Marah Silu diajaknya masuk Islam
dan membangun sebuah Kerajaan Islam. Ternyata dia bersedia masuk Islam dan hari
itu juga dia beserta seluruh penduduk Kampung Pase diislamkan dan berdirilah
Kerajaan Islam Samudra Pasai. Marah Silu dinobatkan oleh Syekh Ismail sebagai
raja dengan gelar Sultan Malikul Saleh. Sejak itu Samudra Pasai terus
berkembang menjadi kerajaan Islam yang makmur. Puncak kejayaannya tercapai pada
masa Sultan Malikul Dzahir( 1297-1326 M) dan Sultan Muhammad Dzahir (1326 -
1354 M). Berdirinya Kerajaan Islam Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam pertama
di Asia Tenggara, langsung memperkuat jaringan kota-kota Islam di Asia Selatan
dan Asia Tenggara yang di awali dari Kota Baghdad, lalu menyusul Delhi dan
Samudra Pasai.
Ketika pada tahun 1258 M, Baghdad
runtuh akibat serbuan tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan, Kerajaan Islam Delhi
(1206 - 1555 M), menjadi semakin kuat, karena banyak cendekiawan Muslim, ulama,
ahli tarekat dan tasawuf yang menyingkir dari Baghdad. Banyak di antara mereka
di samping yang menyingkir ke arah Asia Barat dan Mesir, juga banyak yang
mengungsi ke arah timur menuju Delhi. Akhirnya dari Delhi banyak juga
ulama-ulama dari Baghdad yang sampai pula ke Samudra Pasai. Di antara mereka
tercatat misalnya, Syekh Abdullah bin Muhammad. Dia adalah piut dari Sultan Al
Muntasir Billah, Kalifah Dinasti Abbasiyah terakhir yang dibunuh Panglima
Pasukan Mongol yang menjarah Baghdad, Hulagu Khan.Syekh Abdullah adalah cicit
dari Pangeran Abdul Azis. Pangeran Abdul Azis adalah satu-satunya putra
Khalifah Al Muntasir Billah yang berhasil lolos dari maut pembantaian oleh
Hulagu yang menewaskan ribuan penduduk Baghdad yang tak berdosa, termasuk ayahnya
dan seluruh keluarganya. Syekh Abdullah, piut Khalifah Dinasti Abbasiyah
terahir itu, wafat pada tahun 1407 M, dan makamnya ditemukan di Pasai.
Ibnu Batutah(1304-1378 M), seorang
penulis dan pengelana Muslim asal Tangier, Maroko sempat mengunjungi Samudra
Pasai pada tahun 1345 dan 1346 M. Dia menjadi utusan Sultan Delhi Muhammad Syah
II (1325 -1351 M). Kesan-kesan serta pengalamannya saat mengunjungi
Samudra Pasai itu dituliskannya dalam buku catatan hariannya. Dikisahannya,
bahwa Samudra Pasai adalah sebuah Kerajaan Islam yang makmur dan kaya, banyak
ulama dan cendekiawan Islam dari Baghdad, Isfahan dan Shiraz yang berkumpul di
sana. Bahkan ada dua orang ulama, masing-masing dari Isfahan dan Shiraz
diangkat oleh Sultan Pasai menjadi Kadi atau Penghulu. Perdana Meneteri Samudra
Pasai, Dawlasa, bahkan sudah lebih dulu dikenal Ibnu Batutah karena mereka
berdua sempat bertemu di Istana Kerajaan Islam Delhi. Yaitu pada saat Dawlasa
berkunjung ke sana untuk menemui Sultan Delhi selaku utusan Sultan Samudra Pasai.
Akibat dari tulisan Ibnu Batutah dalam kisah perjalanannya,”Tuhfah
an-Nazzar”, itulah Kerajaan Islam Samudra Pasai menjadi terkenal di seluruh
dunia, khususnya dunia Muslim. Pulau tempat Kerajaan Samudra Pasai berada itu,
kemudian dikenal sebagai Pulau Samudra. Lama kelamaan kata Samudra itu berubah
menjadi Sumatra. Arti Samudra sendiri menurut Hikayat Raja-Raja Pasai, adalah
semut besar.
Sayang ketika Samudra Pasai tengah
berada di puncak kejayaannya, Kerajaan Hindu Majapahit sedang muncul menjadi
kekuatan yang besar dengan program Sumpah Palapa Gajah Mada untuk menaklukan
Nusantara. Pada tahun 1357 M, Samudra Pasai diserbu ribuan tentara dari Jawa
Timur. Setelah dikepung beberapa hari, akhirnya Samudra Pasai jatuh. Tetapi
Sultan Ahmad Jamaluddin ( 1354 - 1383 M ), dengan segenap keluarganya berhasil
menyelamatkan diri ke luar kota sejauh 15 km.
Hikayat Raja-Raja Pasai
menceriterakan bahwa tentara Majapahit banyak sekali membawa harta rampasan
dari Kerajaan Islam Samudra Pasai yang kaya raya, sehingga ketika Armada
Majapahit itu pulang, kapal-kapalnya sarat muatan barang rampasan. Kapal-kapal
itu persis itik-itik yang tengah berenang di atas air. Disamping barang
rampasan, sejumlah orang Pasai sebagai tawanan juga diangkut ke Majapahit.
Bukan hanya sejumlah orang laki-laki, tetapi termasuk juga di
dalamnya perempuan-perempuan Pasai. Tetapi setelah tiba di Majapahit, Raja
Hayam Wuruk ( 1351 - 1389 M), memberi perintah,” Sekalian tawanan orang Pasai
itu lepaskanlah. Dan biarkan mereka tetap tinggal di Jawa di manapun mereka
suka. Dan biarkan mereka tetap memeluk keyakinan dan kepercayaan mereka”. Sejak
saat itu di daerah Gresik banyak ditemukan pemukim beragama Islam asal
Pasai. Dan jumlah makam muslim pun mulai banyak bermunculan di Gresik
sejak tahun 1391 M.
1.Sultan Zaenal Abidin ( 1383 - 1405 M).
Sejak penaklukan oleh Kerajaan
Majapahit, Kerajaan Islam Samudra Pasai berstatus sebagai vazal atau negeri
bawahan Majapahit. Sekalipun begitu Majapahit memberikan otonomi yang
seluas-luasnya untuk mengatur pemerintahannya. Bahkan Sultan Ahmad Jamaluddin
diampuni dan boleh tetap menduduki singgasananya. Hanya saja setiap tahun harus
mengirim utusan dan upeti ke Majapahit sebagai tanda takluk. Beruntung bahwa
dari Kerajaan Islam Samudra Pasai, muncul seorang sultan yang cakap, yaitu
Sultan Zaenal Abidin. Dari dia lah diturunkan tiga ulama besar dan legendaris,
yaitu Syekh Jumadil Kubro, Syekh Maulana Ishak dan Syekh Makhdum Ibrahim
Asmara.
Dalam Kitab Tapel Adam, sebuah
naskah dalam bahasa Jawa yang terbit di Pasai, disebutkan bahwa Syekh Jumadil
Kubro adalah putra Sultan Pasai ke-5, Sultan Zaenal Abidin. Syekh Jumadil Kubro
mempunyai dua orang putra yang kelak juga menjadi ulama besar, yaitu Syekh
Maulana Ishak dan adiknya Syekh Makhdum Ibrahim Asmara.Dalam tradisi kronik
Jawa, nama Sultan Zaenal Abidin ini, sering dikacaukan dengan Imam Zaenal
Abidin ( wafat 716 M), putra dari Imam Husein (wafat 683 M), cucu Rasulullah
saw, lewat Siti Fatimah. Akibat dari kekacauan ini, dalam hampir semua kronik
Jawa, nama Syekh Jumadil Kubro sering dianggap seorang ulama besar dari Makkah
atau Madinah, keturunan langsung dari Nabi saw. Demikian pula Syekh Makhdum
Ibrahim Asmara, sering pula dianggap ulama dari Samarkand, hanya karena adanya
kemiripan bunyi antara kata Asmara dengan Samarkand. Padahal keempat
tokoh sejarah yang kelak menjadi leluhur sejumlah tokoh Walisongo di Pulau Jawa
itu, adalah putra-putra dari Kerajaan Islam Samudra Pasai. Bukan tokoh-tokoh
yang berasal dari Jazirah Arab. Apalagi dari Samarkand. (Bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar