“SMA menyiapkan siswa melanjutkan ke pendidikan tinggi. SMK menyiapkan
siswa ke dunia kerja dan ke pendidikan tinggi“. Kalimat seperti
ini mungkin sering kita dengar. Namun, jika ditelusuri, sumbernya juga tidak
jelas! Faktanya, tidak semua lulusan SMA melanjutkan ke pendidikan tinggi.
Banyak, lulusan SMA yang harus berebut peluang kerja guna melanjutkan masa
depannya.
Hal ini mungkin tidak pernah disadari. Atau, sudah
disadari. Tapi diabaikan begitu saja. Sungguh, tidak bijak membiarkan
lulusan SMA -yang tidak mampu secara finansial melanjutkan ke perguruan tinggi-
untuk terjun ke dunia kerja. Padahal di SMA mereka tidak mendapatkan bekal dan
tidak disiapkan untuk bekerja. Beda dengan SMK, yang nota bene disiapkan
untuk masuk ke dunia kerja/ industri sesuai bidang keahliannya. Memang,
ada program Bidik Misi untuk mengatasi siswa tidak mampu agar melanjutkan ke
PT. Tapi tetap saja, penyumbang angka pengangguran tertinggi adalah lulusan
sekolah menengah!
Tidak menutup mata, banyak sekolah yang sangat kreatif
memikirkan “nasib” lulusan yang berpotensi menganggur ini. Sekolah
membekali siswanya dengan vocational skill, kewirausahaan,
pelatihan di BLK, dan on the job training. Ada juga program
Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Tujuannya sama. Memberi nilai tambah,
pengalaman kerja serta, etos kerja, peningkatan disiplin dan karakter,
serta pengalaman hidup seluas-luasnya bagi siswa SMA. Harapannya,
mereka tidak shocksaat memasuki dunianya yang baru selepas SMA.
Terutama dunia kerja, lantaran tidak mampu melanjutkan ke pendidikan tinggi.
Tapi prosentase sekolah seperti ini berapa?
Persoalan penggangguran usia produktif ini selayaknya
menjadi perhatian pemerintah. Dalam hal ini Kemendikbud, agar dalam kurikulum
baru secara terbuka mewacanakan SMA bisa. Ya ,bisa kuliah. Ya,
Bisa Bekerja. Artinya, kalau memang tidak mampu untuk melanjutkan ke
PT, seyogyanya mampu bersaing secara sehat di dunia kerja.
Bahkan, konon kabarnya, kurikulum 2013 disusun untuk
menghadapi Bonus Demografi 2035-2045. Yakni melimpahnya usia produktif
besar-besaran di Indonesia. Diharapkan kurikulum baru (2013) ini mampu
menyiapkan SDM handal guna mengisi berbagai bidang pembangunan. Namun,
bagaimana mungkin generasi muda akan berperan dalam pembangunan jika mereka
tidak memperoleh bekal yang cukup?
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) sebenarnya sudah
mengakomodasi peluang ini. Ada mata pelajaran wajib “Ketrampilan/ Bahasa Asing”
dan “Muatan Lokal” yang oleh sekolah tertentu dimanfaatkan secara
maksimal untuk pembekalan vokasional. Tapi apa mau dikata. Dalam Drfat
Kurikulum 2013 kedua mata pelajaran itu sudah menguap entah kemana.
Tahun 80′an pernah dicanangkan Kurikulum 1984. Di SMA ada 2
pilihan. Program A dan Program B. Program A meliputi A1 (Ilmu-ilmu
Fisik), A2 (Biologi), A3 (Sosial) dan A4 (Budaya). Program B, pilihan bagi
siswa yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi. Pilihan bagi mereka yang
akan memasuki dunia kerja. Sayangnya. Saat itu hanya Program A yang
jalan. Padahal, bisa jadi model seperti ini ideal untuk mengatasi
permasalahan melubernya lulusan SMA yang tidak terserap di dunia kerja.
Di Australia, ada sebuah sekolah setingkat SMA yang kurikulumnya
menarik. Saat ini, Margareth River Senior High School (MRSHS),
ternyata melaksanakan kurikulum mirip-mirip seperti model kurikulum 1984.
Disana diterapkan Vocational Education and Training in Schools (VETiS). Siswa
kelas akhir yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi diberi bekal vocasional
skill/ kewirausahaan untuk terjun ke dunia kerja. Secara intensif
pelajar-pelajar di MRSHS dilatih ketrampilan dan melakukan kegiatan magang (on
the job training). Tujuannya agar betul-betul siap terjun ke dunia kerja.
Nah, agaknya Australia sudah lebih dulu menerapkan “SMA juga
Bisa”. Indonesia kapan……???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar