-->

Senin, 04 Februari 2013

Sejarah Leluhur Walisongo (Part 3 Habis)


Penulis sejarah Walisongo yang pertama kali berspekulasi bahwa kata Asmara dibelakang nama Ibrahim, berasal dari kata As-Samarkand adalah Solichin Salam dalam bukunya Sekitar Walisongo (Penerbit Menara Kudus; 1960). Karena itu Solichin Salam mengambil kesimpulan bahwa Ibrahim Asmara itu adalah ulama berasal dari Samarkand, sebuah kota di  Asia Tengah. Pendapat ini kemudian diikuti oleh penulis-penulis lainnya, seperti Agus Sunyoto
dalam Atlas Walisongo (Penerbit Mizan;2012). Bahkan  di pinggiran Kota Tuban, Jawa Timur, ada sebuah makam yang disebut-sebut sebagai makam Ibrahim Asmara, tertulis pada papan namanya dalam bahasa Jawa : Makam Ibrahim Asmoro Qondi. Maksudnya adalah makam Ibrahim Asmarakandi, tapi diucapkan dalam lidah Jawa. Tujuannya untuk lebih meyakinkan kepada para peziarah makam tersebut.  Walaupun demikian pendapat Solichin Salam itu masih bersifat spekulasi, sehingga masih terbuka peluang untuk dilakukan revisi.
Bisa jadi kata Asmara itu memang   berasal dari kata as-Samarkand yang mengalami perubahan pengucapan. Tetapi bisa jadi tidak. Perubahan akhiran kand atau kandi menjadi ra, melemahkan spekulasi ini. Sebab bisa saja, kalau hanya soal perubahan pengucapan, kata as-Samudra, yang kemudian berubah jadi as-Sumatra, bisa jadi lama-lama berubah jadi Asmara. Kelemahan lain dari spekulasi Solichin Salam adalah dari sudut fakta sejarah. Ulama-ulama Samarkand adalah ulama-ulama bermashab Syiah, sedang Ibrahim Asmara adalah seorang ulama bermashab Suni, suatu mashab yang juga dianut Kerajaan Islam Samudra Pasai.
Asal usul kata Asmara dibelakang nama Ibrahim yang lebih mendekati kenyataan adalah berasal dari nama Dewi Candrawulan, istri Makhdum Ibrahim Asmara yang Putri Campa. Namannya yang sebenarnya adalah Dewi Asmara Candrawati. Diberi nama demikian karena dia memiliki kecantikan yang luar biasa melebihi kakaknya Dyah Dwarawati. Banyak pangeran yang berminat meminangnya. Tetapi Makhdum Ibrahimlah  yang  berhasil menyuntingnya. Sejak itu masyarakat Kerajaan Campa menjulukinya sebagai Ibrahim Asmara, yang berarti Ibrahim yang berhasil menyunting  Dewi Asmara Candrawati. Demikianlah salah satu versi asal-usul nama Ibrahim Asmara. Tetapi lepas dari mana yang benar, keterangan dalam Kitab Tapel Adam, lebih dapat dipercaya, yaitu bahwa Ibrahim Asmara bukan orang Samarkand. Dia adalah putra Pasai asli, seperti juga  Jumadil Kubro, ayahnya, dan  Maulana Ishak, kakaknya
Asal usul Makhdum Ibrahim Asmara dan kakaknya Maolana Ishak  sangatlah penting diketahui, terutama  jika orang ingin menelusuri sejarah  Walisongo di Jawa. Karena kedua orang ulama besar itu, telah menurunkan sejumlah wali penting anggota Dewan Walisongo, yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri,  Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Akan kita lihat nanti, bahwa dari sembilan orang  wali yang kemudian terkenal sebagai Walisongo, hanya Sunan Gresik Malik Ibrahim, Sunan Kalijaga dan Sunan Muria Umar Said, yang tidak memiliki  hubungan langsung dengan ulama-ulama dari Pasai. Karena itu, kita akan menyelidiki dan membuat kontruksi tahun kelahiran Syekh Maolana Ishak dan adiknya Syekh Makhdum Ibrahim Asmara.
Ibnu Batutah, sang ulama pengembara, menceriterakan dalam kitabnya yang terkenal itu, bahwa pada saat beliau mengunjungi Samudra Pasai yang kedua kalinga dalam perjalannya pulang dari China kembali ke Delhi tahun 1346 M, dia sempat menyaksikan hajat Sultan Muhammad Dzahir menikahkan putranya. Dapat dipastikan bahwa putranya itu adalah Putra Mahkota Ahmad Jalaluddin yang akan naik tahta pada tahun 1354 M, menggantikan ayahandanya  yang wafat. Jika kita anggap kelahiran putra pertama Sultan Ahmad Jamaluddin adalah selang satu tahun setelah pernikahannya pada tahun 1346 M, maka kita dapat memperkirakan tahun kelahiran putra mahkota Zaenal Abidin, yaitu tahun 1347 M.
Bila kita anggap Zaenal Abidin menikah pada usia 20 tahun, karena rata-rata para pangeran di Asia Tenggara menikah pada usia antara 18-25 tahun, berarti Zaenal Abidin akan menikah pada tahun 1367 M. Sultanah Bahiah, putri sulung Zaenal Abidin yang  menggantikannya dengan naik tahta pada tahun 1405 M, diperkirakan  lahir pada tahun 1368 M, yakni satu tahun setelah pernikahan Zaenal Abidin. Sultanah Bahiah adalah seorang putri, dengan demikian Sultan Zaenal Abidin tak memiliki putra mahkota. Tetapi dari seorang selir, Zaenal Abidin memiliki seorang putra, yakni Jumadil Kubro.Kita bisa menduga jarak usia antara tahun kelahiran Jumadil Kubro dengan kakak tirinya itu tak terlalu jauh, katakanlah tiga tahun. Dengan demikian Jumadil Kubro diperkirakan lahir pada tahun 1371 M.
Mengikuti jejak ayahnya, Jumadil Kubro sebagai pangeran Pasai juga menikah pada usia 20 tahun, yakni sekitar tahun 1391 M. Maulana Ishak, putra sulungnya akan lahir pada tahun 1392 M, setahun setelah pernikahan Jumadil Kubro. Sedang putra keduanya Makhdum Ibrahim Asmarakandi, diperkirakan lahir tahun 1395 M, yakni tiga tahun setelah kelahiran putra pertama, suatu selang waktu kelahiran anak-anak yang lazim pada keluarga-keluarga  orang Melayu.
Demikianlah kita telah melakukan rekonstruksi sejarah tahun kelahiran dua ulama besar Syekh Maulana Ishak dan Syekh Makhdum Ibrahim Asmara, dengan menetapkan tahun kelahiran keduanya, yakni tahun 1392 M untuk Syekh Maulana Ishak dan tahun 1395 untuk adiknya Syekh Makhdum Ibrahim Asmara. Menetapkan tahun kelahiran seorang tokoh sejarah amatlah penting. Sebab, tokoh sejarah adalah seorang manusia juga yang senantiasa terikat pada dimensi ruang dan waktu. Tanpa mengetahui kapan seorang tokoh sejarah dilahirkan, maka tokoh sejarah itu akan berubah menjadi tokoh mitos dan legenda yang memang tidak terikat pada dimensi ruang dan waktu. Bagi manusia pada umumnya, tidak terkecuali bagi tokoh-tokoh sejarah, peristiwa kelahiran, perkawinan dan kematian, merupakan peristiwa bersejarah yang amat penting. Karena itu sesungguhnya, pengetahuan kita tentang siklus hidup manusia yang meliputi kelahiran, perkawinan dan kematian, dapat dijadikan salah satu metode untuk merekonstruksi masa hidup seorang tokoh sejarah, jika sumber-sumber yang lebih valid seperti prasasti tidak tersedia sama sekali. Memang hasilnya tidak tepat benar, tetapi cukup mendekati fakta sejarah. Dan hasilnya cukup memuaskan ketimbang melakukan spekulasi tanpa dasar. Kita akan melanjutkan dengan metode yang sama untuk merekonstruksi tahun-tahun pernikahan kedua ulama besar itu.
Hasil penelusuran Drs.Widji Saksono dalam bukunya Mengislamkan Tanah Jawa (Penerbit Mizan; 1995), yang bersumber dari Serat Walisana, menyebutkan bahwa Syekh Maolana Ishak punya enam orang putra. Tiga dari putranya yang tertua berturut-turut adalah Sayyid Es, Syekh Yakub dan Syekh Kusen. Dengan menggunakan metode yang sama kita bisa merekonstruksi tahun-tahun kelahiran ketiga putra Syekh Maulana Ishak. Syekh Maulana Ishak pada tahun 1412 M, sudah berusia 20 tahun dan menikah pada tahun itu juga. Setahun setelah pernikahannya, lahirlah anak pertamanya, yaitu Sayyid Es. Jadi Sayyid Es ini lahir kira-kira pada tahun 413 M. Tiga tahun kemudian lahirlah putra keduanya, Syekh Yakub. Dengan demikian  Syekh Yakub lahir sekitar tahun 1416 M. Akhirnya, putra ketiganya, Syekh Kusen, lahir tiga tahun setelah Syekh Yakub lahir. Jadi Syekh Kusen, putra ketiga Syekh Maolana Ishak, lahir pada tahun 1419 M.
Ketiga putra Syekh Maulana Ishak itu pada sekitar tahun 1450 M, ketika usianya  antara 30 - 37 tahun merantau ke Jawa dalam rangka melaksanakan dakwah Islam. Kemungkina besar mereka berangkat ke Jawa atas perintah ayah mereka Syekh Maolana Ishak. Tapi sampai di Jawa mereka berbagi tugas. Sayyid Es menuju Cirebon, untuk berdakwah di wilayah Kerajaan Hindu Pajajaran. Syekh Yakub menetap di Gresik  karena hendak berdakwah ke wilayah Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Sedangkan Syekh Kusen, menuju Jepara, agar dapat berdakwah di wilayah Jawa Tengah, yang saat itu, juga masuk wilayah Kerajaan Majapahit. Pada masa itu, Gresik, Tuban, Jepara, Cirebon dan Sunda Kelapa, sudah berkembang menjadi pelabuhan yang ramai di Pantai Utara Pulau Jawa. Kelak Sayyid Es di Cirebon mempunyai seorang putra yang bernama Sayyid Zen atau Raden Abdul Qodir, pendiri Pesantren Gunung Jati. Dalam kronik tradisi Cirebon dan Tanah Pasundan, Sayyid Es ini dikenal sebagai Syarif Hidayatullah. Syekh Yakub menurunkan putra yang bernama Raden Paku, kelak menjadi Sunan Giri. Sedang Syekh Kusen, menurunkan putra, Sunan Ngudung Rahmatullah,ayah dari Sunan Kudus Ja’far Sodiq.
Bagaimana dengan Syekh Makhdum Ibrahim Asmara, putra ke dua Syekh Jumadil Kubro dan adik Syekh Maolana Ishak?. Syekh Makhdum Ibrahim ini mendapat tugas menemani  ayahnya berdakwah ke Kerajaan Campa di wilayah Indochina. Di sana Syekh Jumadil Kubro berhasil mengislamkan Raja Campa beserta segenap keluarganya. Bahkan putranya akhirnya bisa  menikah dengan Dewi Candrawulan, putri ke dua Raja Campa Jaya Simhawarman III yang dalam Serat Walisana disebut sebagai Raja Kiyan. Putri pertama Raja Kiyan, Dyah Dwarawati yang dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai Putri Campa, menikah dengan Sri Kertawijaya yang saat itu masih berstatus salah satu calon putra mahkota Kerajaan Majapahit. Mereka menikah pada tahun 1415 M. Syekh Makhdum Ibrahim Asmara, baru menikah dengan Dewi Candrawulan pada tahun 1416 M. Putra pertamanya  Raden Santri lahir tahun 1417 M. Sedang putra keduanya Raden Rahmat baru lahir tahun 1420 M. (Tamat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar